Perubahan Sosial Pengertian Perubahan Sosial




Selo Soemardjan
[1]
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. 
Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya.

Kingsley Davis
[2]
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dan majikan.

Teori Perubahan Sosial

a. Teori Siklus
    - Perubahan sebagai sesuatu yang berulang-ulang.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQ44htE3dBT_an2waER1rZv4OG0KGEfLMgRQSw8zgmPZf4BPemO1Yj1TCoT57uE435N-gpOzq-OMl7mO2arF4OnFdl01aEjL0FlAwHSQVN_TUzhy52D6gx20Gj-GE3nG4nZaG0SL_WqhA/s320/teori+siklus.jpg

b. Teori Perkembangan (Linier)

    - Perubahan dapat diarahkan ke suatu titik tujuan tertentu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLBMMfs3zM3mQwidFR8PwgJNHx0pxqPiG6IAOhh2G6GNngoWbpsNc8CbxHo_oy2VslHC8jp5zCNvUGh9Oc7OcUVMTUGKIL4VG0cYSAw7FtOeGUOfpdW7zoQuYcFnrpJpEUS0jxJ0QM4kU/s320/teori+linier.jpg


Jenis atau Bentuk Perubahan Sosial 


a. Perubahan cepat dan perubahan lambat


1) Perubahan cepat (revolusi)

Contoh : Revolusi Mesir.
*Revolusi : perubahan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.
Revolusi mencoba untuk menempatkan pemerintahan baru.

Syarat-syarat terjadinya revolusi :

a. Harus ada keinginan dari masyarakat untuk mengadakan suatu perubahan.
b. Adanya pemimpin yang mampu memimpin masyarakat untuk mengadakan perubahan.
c. Adanya pemimpin yang dapat menampung keinginan atau aspirasi dari masyarakat dan merumuskannya menjadi program kerja.
d. Ada tujuan konkret yang dapat dicapai.
e. Harus ada momentum yang tepat untuk memulai gerakan.

2) Perubahan lambat (evolusi)

Contoh :
perkembangan sistem berburu dan meramu ke sistem pertanian modern


b. Perubahan kecil dan perubahan besar

1) Perubahan kecil : pengaruh yang ditimbulkan tidak luas.
Contoh : perubahan mode pakaian.

2) Perubahan besar : pengaruh yang ditimbulkan luas.

Contoh : proses industrialisasi.

c. Perubahan yang direncanakan (planned change) / perubahan yang dikehendaki (intended change)  dan perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change) / perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change)


1) Perubahan direncanakan/perubahan yang dikehendaki : perubahan yang diproses melalui suatu program atau rencana tertentu agar menghasilkan suatu perubahan tertentu.

Contoh : program Keluarga Berencana (KB) untuk menghasilkan keluarga sejahtera.

Pelaku perubahan (agent of change) : pihak-pihak yang menghendaki perubahan.


2) Perubahan tidak direncanakan/perubahan yang tidak dikehendaki : perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.

Contoh :
a. PHK mednyebabkan pengangguran meningkat dengan pesat
b. Penggunaan mesin pertanian memicu berkembangnya sikap individualis

d. Perubahan Struktural dan Perubahan Proses


1) Perubahan struktural : perubahan yang sangat mendasar yang menyebabkan timbulnya reorganisasi dalam masyarakat.

Contoh :
Perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik.

2) Perubahan proses : perubahan yang sifatnya tidak mendasar. Perubahan tersebut hanya merupakan penyempurnaan dari perubahan sebelumnya.

Contoh :
Perubahan dalam kurikulum pendidikan yang menyempurnakan kurikulum sebelumnya.

Penyebab Perubahan Sosial


Faktor-faktor penyebab perubahan sosial :


a. faktor intern :

- penemuan baru
- bertambah atau berkurangnya penduduk
- terjadinya pemberontakan atau revolusi
- pertentangan dalam masyarakat

b. faktor ekstern :

- bencana alam
- masuknya kebudayaan dari masyarakat lain
- peperangan dengan negara lain

Faktor pendorong perubahan sosial :

1. Sistem pendidikan formal yang maju.
2. Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan untuk maju.
3. Sistem terbuka dalam lapisan masyarakat.
4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
5. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
6. Penduduk yang heterogen.
7. Orientasi ke masa depan yang lebih baik.
8. Adanya kontak dengan kebudayaan lain.

Difusi budaya : proses penyebaran budaya dari suatu masyarakat ke masyarakat lain.


Faktor penghambat perubahan sosial :

1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
2. Adanya adat atau kebiasaan yang sulit diubah
3. Adanya kepentingan yang tertanam kuat (vested interests)
4. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.
6. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
7. Sikap masyarakat yang sangat tradisional.
8. Prasangka terhadap hal-hal baru dan asing.

Dampak Perubahan Sosial


Modernisasi

Pengertian modernisasi : transformasi sikap masyarakat dari tradisional menjadi modern sesuai dengan tuntutan zaman dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dampak positif modernisasi : adanya penemuan peralatan modern yang dapat membantu manusia.

- Dampak positif perubahan di bidang ekonomi : 
Kecenderungan masyarakat untuk menabung guna menyejahterakan dirinya di masa mendatang.

Dampak positif demokratisasi bagi masyarakat : meningkatnya partisipasi rakyat.


Dampak positif modernisasi di bidang teknologi infiormasi : tersebarnya berita dengan cepat ke seluruh dunia.


 Dampak negatif modernisasi : adanya peralatan canggih menimbulkan pengangguran.

- Dampak negatif pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan mengakibatkan : pencemaran lingkungan.


- Dampak negatif kemajuan teknologi :

Berkembangnya telepon selular (HP) yang didalamnya terdapat kamera, menyebabkan beredar gambar porno di kalangan pelajar SMA.

Syarat modernisasi :

1. Cara berpikir ilmiah
2. Sistem administrasi negara yang baik
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur
4. Penciptaan iklim yang menyenangkan bagi masyarakat
5. Tingkat organisasi yang tinggi, terutama disiplin tinggi
6. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial

Globalisasi

Pengertian globalisasi : proses penyebaran unsur-unsur baru atau hal-hal baru khususnya yang menyangkut informasi secara duniawi melalui media cetak dan elektronik.

Dampak positif globalisasi :

- mempercepat keberhasilan pembangunan di bidang sumber daya manusia
- pertumbuhan ekonomi antarnegara tanpa batas

Dampak negatif globalisasi :

- goncangan budaya (culture shock),
- pergeseran nilai-nilai budaya, dan
- ketertinggalan budaya (cultural lag).

Westernisasi : pemujaan terhadap Barat yang berlebihan, pembaratan.

Contoh akibat negatif dari westernisasi :
Kesenangan mengunjungi tempat hiburan malam, pergaulan bebas, dan mengenakan pakaian seronok/minim, merupakan kebiasaan kelompok masyarakat tertentu. 

_______________
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1990, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 337.
[2] Kun Maryanti dan Juju Suryawati, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII, 2007, Esis, Jakart, halaman 6.
_______________
Hedonisme : sikap yang cenderung mementingkan kesenangan lahiriah/dunia.
Sekularisme : paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.
Globalisasi : proses masuknya ke ruang lingkup dunia




Faktor Pendorong Perubahan Sosial


  1. Menurut Alvin Betrand: awal dari proses perubahan sosial adalah komunikasi yaitu penyampaian ide, gagasan, nilai, kepercayaan, keyakinan dsb, dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga dicapai kata kesepahaman.
  2. Menurut David Mc Clelland: dorongan untuk perubahan adalah adanya hasrat meraih prestasi ( need for achievement) yang melanda masyarakat
  3. Prof. Soerjono Soekanto: Perubahan sosial disebabkan oleh faktor intern dalam masyarakat itu dan faktor ekstern.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan

Setiap masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan-perubahan. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Perubahan sosial yang terjadi memang telah ada sejak zaman dahulu. Ada kalanya perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung demikian cepatnya, sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya. Berikut ini beberapa ilmuwan yang mengungkapkan tentang batasan-batasan perubahan sosial. Gillin dan Gillin menyatakan bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat.
Samuel Koenig menjelaskan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab intern atau sebab-sebab ekstern. Selo Soemardjan menjelaskan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi  istem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan unsur-unsur atau struktur sosial dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan yang lain

A. Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial Budaya dan Penyebabnya

Perubahan sosial budaya dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk berikut ini.

1. Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat

Perubahan lambat disebut juga evolusi. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks. Perubahan cepat disebut juga dengan revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu. Berikut ini beberapa persyaratan yang mendukung terciptanya revolusi.
a. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
b. Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang mampu memimpin masyarakat tersebut.
c. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi.
d. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat.
e. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi.

Contoh perubahan secara revolusi adalah gerakan Revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlevi yang otoriter dan mengubah sistem pemerintahan monarki menjadi sistem Republik Islam dengan Ayatullah Khomeini sebagai pemimpinnya.

2. Perubahan Kecil dan Perubahan Besar


Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian. Sebaliknya, perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.

3. Perubahan yang Dikehendaki atau Direncanakan dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki atau Tidak Direncanakan


Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan.
Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.

4. Sebab-Sebab Perubahan Sosial Budaya

Perubahan sosial dan kebudayaan di masyarakat dapat terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari masyarakat sendiri atau yang berasal dari luar masyarakat.
a . Sebab-Sebab yang Berasal dari Dalam Masyarakat (Sebab Intern)
Berikut ini sebab-sebab perubahan sosial yang bersumber dari dalam masyarakat (sebab intern)
1) Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk.
2) Adanya penemuan-penemuan baru yang berkembang di masyarakat, baik penemuan yang bersifat baru (discovery) ataupun penemuan baru yang bersifat menyempurnakan dari bentuk penemuan lama (invention).
3) Munculnya berbagai bentuk pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
4) Terjadinya pemberontakan atau revolusi sehingga mampu menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar. Misalnya, Revolusi Rusia (Oktober 1917) yang mampu menggulingkan pemerintahan kekaisaran dan mengubahnya menjadi sistem diktator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis. Revolusi tersebut menyebabkan perubahan yang mendasar, baik dari tatanan negara hingga tatanan dalam keluarga.

b . Sebab-Sebab yang Berasal dari Luar Masyarakat (Sebab Ekstern)

Perubahan sosial dan kebudayaan juga dapat terjadi karena adanya sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat (sebab ekstern). Berikut ini sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat.
1) Adanya pengaruh bencana alam. Kondisi ini terkadang memaksa masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan lingkungan yang baru tersebut. Hal ini kemungkinan besar juga dapat memengaruhi perubahan pada struktur dan pola kelembagaannya.
2) Adanya peperangan, baik perang saudara maupun perang antarnegara dapat me-nyebabkan perubahan, karena pihak yang menang biasanya akan dapat memaksakan ideologi dan kebudayaannya kepada pihak yang kalah.
3) Adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Bertemunya dua kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat diterima tanpa paksaan, maka disebut demonstration effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan saling menolak, maka disebut cultural animosity. Jika suatu kebudayaan mempunyai taraf yang lebih tinggi dari kebudayaan lain, maka akan muncul proses imitasi yang lambat laun unsur-unsur kebudayaan asli dapat bergeser atau diganti oleh unsur-unsur kebudayaan baru tersebut.

B. Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial Budaya

1. Faktor-Faktor Pendorong Perubahan

a. Adanya Kontak dengan Kebudayaan Lain

Kontak dengan kebudayaan lain dapat menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Penemuan-penemuan baru tersebut dapat berasal dari kebudayaan asing atau merupakan perpaduan antara budaya asing dengan budaya sendiri. Proses tersebut dapat mendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan yang ada.
b . Sistem Pendidikan Formal yang Maju
Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama membuka pikiran dan mem-biasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya dapat memenuhi perkembangan zaman atau tidak.

c . Sikap Menghargai Hasil Karya Orang Lain
Penghargaan terhadap hasil karya seseorang akan mendorong seseorang untuk berkarya lebih baik lagi, sehingga masyarakat akan semakin terpacu untuk menghasilkan karya-karya lain.

d . Toleransi terhadap Perbuatan yang Menyimpang
Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya.Untuk itu, toleransi dapat diberikan agarsemakin tercipta hal-hal baru yang kreatif.

e . Sistem Terbuka Masyarakat ( Open Stratification )
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya.

f . Heterogenitas Penduduk

Di dalam masyarakat heterogen yang mempunyai latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat dalam upayanya untuk mencapai keselarasan sosial.
g . Orientasi ke Masa Depan
Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

h. Ketidakpuasan Masyarakat terhadap Bidang-Bidang Tertentu
Ketidakpuasan yang berlangsung lama di kehidupan masyarakat dapat menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan gerakan revolusi untuk mengubahnya.

i . Nilai Bahwa Manusia Harus Senantiasa Berikhtiar untuk Memperbaiki Hidupnya
Ikhtiar harus selalu dilakukan manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.

2. Faktor-Faktor Penghambat Perubahan

a. Kurangnya Hubungan dengan Masyarakat Lain
Kehidupan terasing menyebabkan suatu masyarakat tidak mengetahui perkembangan-perkembangan yang telah terjadi. Hal ini menyebabkan pola-pola pemikiran dan kehidupan masyarakat menjadi statis.

b . Terlambatnya Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kondisi ini dapat dikarenakan kehidupan masyarakat yang terasing dan tertutup, contohnya masyarakat pedalaman. Tapi mungkin juga karena masyarakat itu lama berada di bawah pengaruh masyarakat lain (terjajah).

c . Sikap Masyarakat yang Masih Sangat Tradisional

Sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan masa lampau dapat membuat terlena dan sulit menerima kemajuan dan perubahan zaman. Lebih parah lagi jika masyarakat yang bersangkutan didominasi oleh golongan konservatif (kolot).
d . Rasa Takut Terjadinya Kegoyahan pada Integritas Kebudayaan
Integrasi kebudayaan seringkali berjalan tidak sempurna, kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menggoyahkan pola kehidupan atau kebudayaan yang telah ada. Beberapa golongan masyarakat berupaya menghindari risiko ini dan tetap mempertahankan diri pada pola kehidupan atau kebudayaan yang telah ada.

e . Adanya Kepentingan-Kepentingan yang Telah Tertanam dengan Kuat ( Vested Interest Interest)
Organisasi sosial yang mengenal sistem lapisan strata akan menghambat terjadinya perubahan. Golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi tentunya akan mempertahankan statusnya tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan terhambatnya proses perubahan.

f . Adanya Sikap Tertutup dan Prasangka Terhadap Hal Baru (Asing)

Sikap yang demikian banyak dijumpai dalam masyarakat yang pernah dijajah oleh bangsa lain, misalnya oleh bangsa Barat. Mereka mencurigai semua hal yang berasal dari Barat karena belum bisa melupakan pengalaman pahit selama masa penjajahan, sehingga mereka cenderung menutup diri dari pengaruh-pengaruh asing.
g . Hambatan-Hambatan yang Bersifat Ideologis
Setiap usaha perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, biasanya diartikan sebagai usaha yang berlawanan dengan ideologi
masyarakat yang sudah menjadi dasar integrasi masyarakat tersebut.

h. Adat atau Kebiasaan yang Telah Mengakar

Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adakalanya adat dan kebiasaan begitu kuatnya sehingga sulit untuk diubah. Hal ini merupakan bentuk halangan terhadap perkembangan dan perubahan kebudayaan. Misalnya, memotong padi dengan mesin dapat mempercepat proses pemanenan, namun karena adat dan kebiasaan masyarakat masih banyak yang menggunakan sabit atau ani-ani, maka mesin pemotong padi tidak akan digunakan.
i . Nilai Bahwa Hidup ini pada Hakikatnya
Buruk dan Tidak Mungkin Diperbaiki Pandangan tersebut adalah pandangan pesimistis. Masyarakat cenderung menerima kehidupan apa adanya dengan dalih suatu kehidupan telah diatur oleh Yang Mahakuasa. Pola pikir semacam ini tentu saja tidak akan memacu pekembangan kehidupan manusia.

C. Perilaku Masyarakat sebagai Akibat Adanya Perubahan Sosial Budaya

Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat. Telah dijelaskan di depan bahwa perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan) dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja memengaruhi pola dan perilaku masyarakatnya. Berikut ini hal-hal positif atau bentuk kemajuan akibat adanya perubahan sosial budaya.
1. Memunculkan ide-ide budaya baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Membentuk pola pikir masyarakat yang lebih ilmiah dan rasional.
3. Terciptanya penemuan-penemuan baru yang dapat membantu aktivitas manusia.
4. Munculnya tatanan kehidupan masyarakat baru yang lebih modern dan ideal.


Berikut ini hal-hal negatif atau bentuk ke-munduran akibat adanya perubahan sosial budaya.
1. Tergesernya bentuk-bentuk budaya nasional oleh budaya asing yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah budaya-budaya nasional.
2. Adanya beberapa kelompok masyarakat yang mengalami ketertinggalan kemajuan budaya dan kemajuan zaman, baik dari sisi pola pikir ataupun dari sisi pola kehidupannya (cultural lag atau kesenjangan budaya).
3. Munculnya bentuk-bentuk penyimpangan sosial baru yang makin kompleks.
4. Lunturnya kaidah-kaidah atau norma budaya lama, misalnya lunturnya kesadaran bergotong-royong di dalam kehidupan masyarakat kota.

D. Sikap Kritis terhadap Pengaruh Perubahan Sosial dan Budaya


Apapun bentuk perubahan sosial budaya akan menghasilkan suatu bentuk, pola, dan kondisi kehidupan masyarakat yang baru. Kalian sebagai pelajar tentu harus bisa menentukan sikap terhadap dampak perubahan sosial budaya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.  Sikap apriori yang berlebihan tentu saja tidak perlu kalian kedepankan, mengingat sikap tersebut merupakan salah satu penyebab terhambatnya proses perubahan sosial budaya yang berujung pada terhambatnya proses perkembangan masyarakat dan modernisasi. Demikian juga dengan sikap menerima setiap perubahan tanpa terkecuali. Sikap tersebut cenderung akan membuat kita meniru (imitasi) terhadap setiap perubahan sosial budaya yang terjadi, meskipun perubahan tersebut mengarah pada perubahan yang bersifat negatif. Kalian diharapkan mampu memiliki dan mengembangkan sikap kritis terhadap proses perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Perubahan sosial budaya yang bersifat positif dapat kita terima untuk memperkaya khazanah kebudayaan bangsa kita, sebaliknya perubahan sosial budaya yang bersifat negatif harus kita saring dan kita cegah perkembangannya dalam kehidupan masyarakat kita. Dalam pelaksanaannya, kalian harus mampu mengikuti perkembangan zaman dengan memperluas p


eori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat.
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.

Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.
Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan.
Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam melaksanakan fungsinya tersebut.
Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.
Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
Fungsionalisme Durkheim ini tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua orang ahli antropologi abad ke-20, yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown. Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer.
Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505).
Jasa Malinowski terhadap fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda dari Brown, mendukung konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi menganalisa kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: 551).
Dalam membahas sejarah fungsionalisme struktural, Alvin Gouldner (1970: 138-157) mengingatkan pada pembaca-pembacanya akan lingkungan di mana fungsionalisme aliran Parson berkembang. Walaupun kala itu adalah merupakan masa kegoncangan ekonomi di dalam maupun di luar negeri sebagai akibat dari depresi besar. Teori fungsionalisme Parsons mengungkapkan suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung. Coser dan Rosenberg (1976: 490) melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”.
Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural telah berkuasa sebagai suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi kontemporer Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis di dalam pidato kepemimpinannya di hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.
2. Pengertian Solidaritas Mekanik Dan Organik
a. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya pembagian kerja diantara para anggota kelompok.
b. Solidaritas Organik
Solidaritas organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan antaranggota.
3.Konsep Dasar Tentang Anomy
Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani a-: “tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan”.
Macam-macam Anomi itu ada 3
1.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Individu
2.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Masyarakat
3.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Sastra Dan Film
1. Anomie sebagai kekacauan pada diri individu
Émile Durkheim, sosiolog perintis Prancis abad ke-19 menggunakan kata ini dalam bukunya yang menguraikan sebab-sebab bunuh diri untuk menggambarkan keadaan atau kekacauan dalam diri individu, yang dicirikan oleh ketidakhadiran atau berkurangnya standar atau nilai-nilai, dan perasaan alienasi dan ketiadaan tujuan yang menyertainya. Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk, dan lebih umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan dasar bagi nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami anomie. Lebih jauh ia berpendapat bahwa pembagian kerja yang banyak terjadi dalam kehidupan ekonomi modern sejak Revolusi Industri menyebabkan individu mengejar tujuan-tujuan yang egois ketimbang kebaikan komunitas yang lebih luas.
Robert King Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomie dalam karyanya. Ia mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama dari suatu masyarakat tertentu, namn tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial. Akibatnya, individu itu akan memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya sendiri.
2. Anomie sebagai kekacauan masyarakat
Kata ini (kadang-kadang juga dieja “anomy”) telah digunakan untuk masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu masyarakat, yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama. Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomie dengan makna ini.
Anomie sebagai kekacauan sosial tidak boleh dikacaukan dengan “anarkhi”. Kata “anarkhi” menunjukkan tidak adanya penguasa, hierarkhi, dan komando, sementara “anomie” menunjukkan tidak adanya aturan, struktur dan organisasi. Banyak penentang anarkhisme mengklaim bahwa anarkhi dengan sendirinya mengakibatkan anomi. Namun hampir semua anarkhis akan mengatakan bahwa komando yang hierarkhis sesungguhnya menciptakan kekacauan, bukan keteraturan (lih. misalnya Law of Eristic Escalation). Kamus Webster 1913, sebuah versi yang lebih tua, melaporkan penggunaan kata “anomie” dalam pengertian “ketidakpedulian atau pelanggaran terhadap hukum”.
3. Anomie dalam sastra dan film
Dalam novel eksistensialis karya Albert Camus Orang Asing, tokoh protagonisnya, Mersault bergumul untuk membangun suatu sistem nilai individual sementara ia menanggapi hilangnya system yang lama. Ia berada dalam keadaan anomie, seperti yang terlihat dalam apatismenya yang tampak dalam kalimat-kalimat pembukaannya: “Aujourd’hui, maman est morte. Ou peut-être hier, je ne sais pas.” (“Hari ini ibunda meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tak tahu.”) Camus mengungkapkan konflik Mersault dengan struktur nilai yang diberikan oleh agama tradisional dalam suatu dialog hampir pada bagian penutup bukunya dengan seorang pastur Katolik yang berseru, “Apakah engkau ingin hidupku tidak bermakna?”
Dostoevsky, yang karyanya seringkali dianggap sebagai pendahulu filosofis bagi eksistensialisme, seringkali mengungkapkan keprihatinan yang sama dalam novel-novelnya. Dalam The Brothers Karamazov, tokoh Dimitri Karamazov bertanya kepada sahabatnya yang ateis, Rakitin, “…tanpa Allah dan kehidupan kekal? Jadi segala sesuatunya sah, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai?’” Raskolnikov, anti-hero dari novel Dostoevsky Kejahatan dan Hukuman, mengungkapkan filsafatnya ke dalam tindakan ketika ia membunuh seorang juru gadai tua dan saudara perempuannya, dan belakangan merasionalisasikan tindakannya itu kepada dirinya sendiri dengan kata-kata, “… yang kubunuh bukanlah manusia, melainkan sebuah prinsip!”
Yang lebih belakangan, protagonis dari film Taxi Driver karya Martin Scorsese dan protagonis dari Fight Club, yang aslinya ditulis oleh Chuck Palahniuk dan belakangan dijadikan film, dapat dikatakan mengalami anomie.



Teori struktural fungsional Presentation Transcript

  • 1. TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN TEORI KONFLIK
  • 2. Pendekatan Struktural Fungsional o o o Masyarakat haruslah dilihat Sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial cenderung bergerak ke arah equilibrium.
  • 3. Pendekatan Struktural Fungsional o o o Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaianpenyesuaian dan proses institusionalisasi. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner. Perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan : penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar, pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional serta penemuan-penemuan baru oleh anggotaanggota masyarakat.
  • 4. o Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
  • 5. AGIL o o o o o Suatu sistem harus memiliki empat fungsi : Adaptation (sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat). Goal Attainment (Pencapaian tujuan) Integration (Integrasi) : sebuah sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya). Latency (latensi atau pemeliharaan pola), sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki baik motivasi individual maupun pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
  • 6. Struktur Sistem Tindakan Umum o o o o  fungsi adaptasiàOrganisme perilaku   fungsi mencapai tujuanàSistem kepribadian   fungsi integrasiàSistem Sosial   fungsi pemeliharaanàSistem kultural 
  • 7. Anggapan Struktural Fungsional mengabaikan kenyataan sbb : o o o o Setiap struktur sosial mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal yang pada gilirannya menjadi sumber terjadinya perubahan sosial. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahanperubahan yang datang dari luar tidak selalu bersifat adjustive. Suatu sistem sosial di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik sosial yang bersifat vicious circle (lingkaran setan). Perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian yang lunak akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
  • 8. Pendekatan Konflik berpangkal pada : o o Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
  • 9. Pendekatan Konflik berpangkal pada : o o Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atau sejumlah orang-orang yang lain.
  • 10. Bentuk Pengendalian Konflik Sosial o Konsilidasi, melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara fihak-fihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Lembaga tersebut harus memenuhi empat hal : bersifat otonom, monopolistis, lembaga tersebut harus mampu mengikat kelompok-kelompok yang ada, dan lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
  • 11. o o Mediasi, kedua belah pihak bersepakat menunjuk pihak ketiga untuk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelasaikan pertentangan mereka. Perwasitan (Arbitration), kedua belah pihak yang bertikai bersepakat menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.


Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser

Sejarah Awal

Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda oleh karena itu dapat oleh berdasarkanbeberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.

Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia.[4] Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan.[4] Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:
  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.[4]
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[4]

Inti Pemikiran

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. [5]. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. [5]
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). [5]Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. [5]
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. [5]Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. [5] Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. [5]
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c8/Ambox_notice.png
Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5]
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c8/Ambox_notice.png
Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c8/Ambox_notice.png
Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.
Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. [7]Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7]

Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisis fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. [8] Diantaranya:
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik. [8]
  • Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. [8]
Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. [9]
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisisnya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c8/Ambox_notice.png
Contoh: Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Perubahan Sosial Budaya
Terdapat perbedaan yang mendasar antara perubahan sosial dengan perubahan budaya. Perbedaan itu terjadi karena istilah perubahan sosial budaya sesungguhnya berasal dari dua konsep yang berbeda, pertama perubahan social yang dilihat dengan kacamata sosiologi dan kedua perubahan kebudayaan yang dilihat menggunakan kacamata antropologi.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya.  Perubahan sosial meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat kelahiran, dan penurunan rasa kekeluargaan antar anggota masyarakat sebagai akibat terjadinya arus urbanisasi dan modernisasi.
Perubahan kebudayaan jauh lebih luas dari perubahan sosial. Perubahan budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan seperti kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, aturan-aturan hidup berorganisasi, dan filsafat. (www.blogspot.com./perubahan sosial budaya « cafestudi061′s weblog.htm).
Berikut ini merupakan makna umum dari sosial dan budaya.  Menurut Soedjono Dirdjosiswojo, memberikan definisi bahwa perubahan social adalah perubahan fundamental yang terjadi dalam struktur social, sistem social dan organisasi social.  Sedangkan William F. Ogburn mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan yang materiil maupun immateriil dengan menekankan bahwa pengaruh yang besar dari unsur-unsur immaterial.
Mac Iver lebih suka membedakan antara utilitarian elements dengan cultural elements yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan manusia yang primer dan sekunder.  Sedangkan culture, menurut mac iver adalah ekspresi dari jiwa yang terwujud dalam cara hidup dan berfikir, pergaulan hidup, seni kesusasteraaan, agama, rekreasi dan hiburan.  Mac Iver mengeluarkan unsur materiil dari ruang lingkup culture.  Perubahan sosial dikatakannya sebagai perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan keseimbangan sosial tersebut. 
Gillin dan Gillin mengatakan bahwa perubahan–perubahan sosial untuk suatu variasi cara hidup yang lebih diterima yang disebabkan baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, kempetisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau perubahan- perubahan baru dalam masyarakat tersebut.
Sole Soemardjan mengatakan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan di dalam sutau masyarakat yang mempengaruhi sitem sosial, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap- sikap dan pola perilaku diantara kelompok dalam masyarakat.
Kemudian, Koentaraningrat, menyatakan bahwa perubahan budaya adalah perubahan-perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan, yakni mencakup perubahan sistem pengetahuan, organisasi social, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, religi, bahasa dan kesenian.  Perubahan ini terjadi akibat ketidaksesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu keadaan yang harmonis bagi kehidupan. (http://prasetyowidi.wordpress.com/2010/01/03/definisi-perubahan-sosial-dan-tipe-tipe-perubahan-sosial/)
Dapat disimpulkan bahwa  perubahan sosial budaya adalah perubahan yang mencakup hampir semua aspek kehidupan social dan budaya dari suatu masyarakat atau komunitas.  Pada hakekatnya, proses ini lebih cenderung pada proses penerimaan perubahan baru yang dilakukan oleh masyarakat tersebut guna meningkatkan taraf hidup dan kualitas kehidupannya.
Meskipun demikian, perubahan sosial budaya tidaklah lepas dari penilaian tentang akibat positif dan negative dari responden yang mengalami proses ini secara langsung.  Terdapat pihak masyarakat yang dapat menikmati aroma positif dari perubahan ini, namun juga tidak terlepas dari aroma negative yang dinilai merugikan dan menghambat suatu pihak akibat keadaan baru yang datang pada komunitas mereka
Perubahan sosial dan perubahan budaya yang terjadi di masyarakat saling berkaitan. Tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat. Dalam prakteknya di lapangan pun kedua jenis perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan.  (http://www.gudangmateri.com/2011/02/pengertian-dan-bentuk-perubahansosial.html)

B.       Proses Perubahan Sosial Budaya
Berikut ini merupakan proses dari perubahan sosial budaya
1.         Penyesuaian masyarakat terhadap perubahan
Merupakan sebuah dambaan dalam masyarakat apabila tercipta keseimbangan atau harmoni.  Dengan keseimbangan dalam masyarakat, maka dapat tergambarkan suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi.  Sehingga, setiap individu secara psikologis merasakan akan adanya suatu ketentraman dikarenakan tidak adanya suatu konflik atau pertentangan dalam nilai-nilai dan norma-norma. 
Apabila terjadi  suatu gangguan terhadap keadaan keseimbangan tersebut, maka masyarakat dapat menolaknya atau merubah susunan lembaga-lembaga kemasyarakatannya dengan maksud untuk menerima suatu unsur yang baru.  Akan tetapi, terkadang unsur baru tersebut dipaksakan masuknya oleh suatu kekuatan.  Masyarakat dapat senantiasa membuka diri terhadap unsur baru yang pengaruhnya tetap ada, namun tidak menimbulkan kegoncangan, dan sifatnya dangkal serta hanya terbatas pada bentuk luarnya.  Selain itu, norma dan nilai sosial tidak akan terpengaruh olehnya dan dapat berfungsi secara wajar.
Adakalanya unsur baru dan lama bertentangan, dan secara bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian berpengaruh pula pada warga-warga masyarakat.  Hal itu berarti suatu gangguan yang kontinue terhadap keseimbangan masyarakat.  Keadaan tersebut berarti bahwa ketegangan-ketegangan serta kekecewaan di antara para warga masyarakat, tidak tersalurkan ke arah suatu pemecahan atau penyelesaian.  Apabila ketidak-seimbangan tersebut terdapat dipulihkan kembali, setelah terjadi suatu perubahan, maka keadaan tersebut  dinamakan suatu penyesuaian (adjustment), bila sebaliknya yang terjadi, maka keadaan tersebut dinamakan ketidak penyesuaian sosial (maladjustment) yang mungkin mengakibatkan terjadinya anomie.
Suatu perbedaan dapat terjadi antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan penyesuaian orang perorangan dalam masyarakat tersebut.  Yang pertama menunjuk pada suatu keadaan, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga kemasyarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial budaya, sedangkan yang kedua menunjuk pada usaha orang perorangan untuk menyesuaikan diri dengan lembaga kemasyarakatan yeng telah diubah atau diganti, agar terhindar dari disorganisasi psikologis. (Soerjono Soekanto, 1982: 333)

2.         Saluran-saluran perubahan sosial budaya
Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan (avenue or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan dalam masyrakat yang pada umumnya adalah lembaga kemasyarakatan di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan seterusnya.  Lembaga kemasyarakatan yang merupakan titik tolak, tergantung pada “cultural focus” masyarakat pada suatu masa tertentu (artinya, yang menjadi pusat perhatian masyarakat).
Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat, cenderung menjadi sumber atau saluran untama dari perubahan sosial budaya.  Perubahan pada lembaga kemasyarakatan tersebut akan berpengaruh juga kemana lembaga kemasyarakatan lainnya, hal ini dikarenakan suatu sistem yang terintegrasi.  Berikut ini bagan mengenai keterikatan lembaga kemasyarakatan sebagai suatu sistem sosial:



                                  Pemerintah


Organisasi Keagamaan                                             Organisasi Ekonomi


Organisasi Pendidikan                                                       Keluarga

Dengan singkat dapatlah dikatakan bahwa saluran tersebut berfungsi agar sesuatu perubahan dikenal, diterima, diakui serta dipergunakan oleh khalayak ramai, atau dengan singkat, mengalami proses institutionalization (pelembagaan).

3.         Disorganisasi (disintegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)
a.        Definisi
Organisasi merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan suatu kesatuan fungsionil.  Maka disorganisasi adalah suatu keadaan dimana tidak ada suatu keserasian pada bagian-bagian dari suatu kebulatan.  Contohnya adalah masyarakat, agar dapat berfungsi sebagai organisasi, harus ada keserasian antara bagian-bagiannya seperti lembaga kemasyarakatan, norma, nilai, dan sebagainya.
Perlu ditegaskan bahwa tidak hanya terdapat dua kutub yang berbeda atau berlawanan yaitu disorganisasi dan adanya organisasi, karena disorganisasi mengenal pula bermacam-macam derajat atau tahap-tahap kelangsungan.  Kriteria terjadinya disorganisasi antara lain terletak pada persoalan apakah organisasi tersebut berfungsi secara semestinya atau tidak baik, mengenai keseimbangan bagian-bagiannya dalam melaksanakan masing-masing fungsinya.
Suatu persoalan lain yang timbul adalah bahwa disorganisasi dalam masyarakat acapkali dihubungkan dengan moral dalam arti anggapan tentang apa yang baik dan yang buruk.  Namun di dalam masyarakat yang sangat perlu untuk diperhatikan bahwa disorganisasi tidak selalu menyangkut persoalan moral.  Sebaliknya perbuatan yang immoral belum tentu merupakan disorganisasi. 
Suatu disorganisasi atau disintegrasi mungkin dapat dirumuskan sebagai suatu proses berpudarnya norma dan nilai dalam masyarakat, karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan.
Reorganisasi atau reintegrasi adalah suatu proses pembentukan norma dan nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan.
Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma dan nilai yang baru telah institutionalized (melembaga) dalam diri warga masyarakat.  Berhasil tidaknya proses “institutionalization” tersebut dalam masyarakat, mengikuti formula sebagai berikut:
                       (Efektivitas (kekuatan menentang
Institutionalization=   menanam dari masyarakat)  dffghhhh                                               Kecepatan menanam

Yang dimaksudkan degnan efektivitas menanam adalah hasil yang positif dari penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metoda untuk menanamkan lembaga baru di dalam masyarkat.  Semakin besar kemampuan tenaga manusia, makin ampuh alat-alat yang digunakan, maka akan semakin rapi dan teratur organisasinya dan semakin sesuai sistim penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat maka semakin besar hasil yang dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru tersebut.
Akan tetapi setiap usaha untuk menanam sesuatu unsur yang baru, pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan dari masyarakat yang merasa dirugikan.  Kekuatan menentang dari masyrakat itu mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses “institutionalization: (pelembagaan).
Dengan demikian, maka apabila efektivitas menanam kecil sedangkan kekuatan menentang dari masyarakat besar maka kemungkinan suksesnya proses “institutionalization” menjadi kecil atau hilang sama sekali begitu pula sebaliknya.  Berdasarkan hubungan timbal balik antara kedua faktor yang berpengaruh positif dan negatif itu, orang dapat menambah kelancaran proses tersebut dengan memperbesar efektivitas menanm dan /atau mengurangi kekuatan menentang dari masyarakat.  Penggunaan kekerasan untuk mengurangi kekuatan menentang dari masyarakat itu biasanya malahan akan memperbesar kekuatan tersebut, sehingga dapat memperlambat berhasilnya proses “institutionalization”.
Terhadap hasil dari pengaruh positif dan negatif itu ada pengaruh dari faktor ketiga yaitu faktor kecepatan menanam.  Yang artinya adalah panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha menanam itu dilakukan dan diharapkan memberi hasil.  Semakin tergesa-gesa orang berusaha mananam dan semakin cepat orang mengharapkan hasilnya, maka semakin tipis efek dari “institutionalization” dalam masyarakat, begitu pula sebaliknya.  Selain itu, apabila penambahan kecepatan menanam disertai dengan usaha menambah efektivitas, maka hasil proses “institutionalization” tidaka akan berkurang. 
b.        Gambaran mengenai disorganisasi dan reorganisasi
Apabila disorganisasi terjadi dengan sangat cepat, misalnya karena meletusnya revolusi, maka mungkin akan timbul hal-hal yang sukar untuk dikendalikan.  Reorganisasi tidak dapat terjadi dengan cepat, karena terlebih dahulu harus menyesuaikan diri dengan masyarakat. Sangat dimungkinkan terjadi, suatu keadaan dimana norma yang lama sudah hilang karena disorganisasi tadi, sedangkan norma yang baru belum terbentuk, keadaan tersebut merupakan suatu keadaan yang krisis dalam masyarakat. 
Kejadian tersebut akan memunculkan ‘anomie” yaitu suatu keadaan dimana tidak ada pegangan terhadap apa yang baik dan buruk, sehingga anggota masyarakat tidak mampu untuk mengukur tindakannya, karena ketidak adaan batas-batas.  Anomie tersebut mungkin pula terjadi saat disorganisasi meningkat ke tahap reorganisasi.
c.         Ketidakseimbangan dalam perubahan dan “cultural lag”
Pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, tidak selalu perubahan pada unsur masyarakat dan kebudayaan mengalami kelainan yang seimbang.  Di dalam masyarakat ada unsur-unsur yang dengan cepat berubah, namun disisi lain ada pula unsur yang sukar untuk berubah.
Apabila dalam hal ini terjadi ketidakseimbangan, yaitu  satu unsur berubah dengan cepatnya sedangkan unsur lainnya yang berhubungan erat tidak berubah atau berubah dengan lambat sekali, maka kemungkinan akan terjadi kegoyahan  dalam hubungan antara unsur-unsur tersebut.  Sampai sejauh mana akibat dari keadaan tidak seimbang tersebut, tergantung dari erat tidaknya integrasi antara unsur-unsur tersebut.
Cultural lag (ketinggalan kebudayaan) adalah suatu perbedaaan antara taraf kemajuan dari berbagai bagian dalam kebudayaan dari suatu masyarakat.  Suatu lag juga terjadi apabila laju perubahan dari dua unsur masyarakat atau kebudayaan (mungkin juga lebih) yang mempunyai korelasi, tidak sebanding, sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya.
Pengertian lag dapat dipergunakan dalam palaing sedikit dua arti, Pertama sebagai suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimanya penemuan baru tadi.  Kedua, dipakai untuk menunjuk pada tertinggalnya suatu unsur tertentu terhadap unsur lainnya yang erat hubungannya.
Ketinggalan yang akan menyolok adalah tertinggalnya alam fikiran dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, hal ini terjadi terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.  Perlu adanya peralihan alam pikiran yaitu dari tradisional ke modern. (Soerjono Soekanto, 1982: 343)

C.      Teori Perubahan Sosial Budaya
Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat.
Perubahan sosial budaya terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis.
Teori klasik dalam sosiologi dimaknai sebagai teori yang mengawali munculnya berbagai studi kemasyarakatan (sosiologi), kemudian teori ini juga menjadi dasar bagi munculnya teori-teori yang lahir sesudahnya. Kajian mengenai sosiologi sebenarnya telah dimulai sejak abad ke-14, diawali dengan pemikiran Ibnu Khaldun (lahir tahun 1332). Meskipun Khaldun tidak menyebut pemikirannya adalah pemikiran yang sosiologis, namun sebenarnya pemikirannya sangat sosiologis. Ia tidak memakai terminologi sosiologi, namun ia banyak menggunakan konsep-konsep dalam sosiologi, seperti konsep masyarakat dan solidaritas sosial. Pemikiran Khaldun juga dikenal dalam disiplin ilmu politik, agama, sejarah dan filsafat. (http://nanang-martono.blog.unsoed.ac.id/?p=696)
Secara makro, studi mengenai perubahan sosial budaya dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok pemikiran, yaitu kelompok teori yang dikategorikan dalam teori evolusi, teori konflik, teori fungsional, dan teori siklus. Adapun teori-teori secara rinci yang menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut:
1.         Teori Evolusi ( Evolution Theory )
Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.
a.    Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna. Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer.
b.   Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
c.    Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahap-tahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.         Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat.
b.        Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.
c.         Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
Padahal perubahan merupakan sesuatu yang bersifat terus menerus sepanjang manusia melakukan interaksi dan sosialisasi.

2.         Teori Konflik ( Conflict Theory )
Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat.
Teori ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitikberatkan pada hal berikut ini.
a.         Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
b.        Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
c.         Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.
d.        Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.

3.         Teori Fungsional ( Functionalist Theory )
Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag .
Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.
Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsional adalah sebagai berikut.
a.         Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
b.        Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
c.         Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
d.        Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.

4.         Teori Siklus ( Cyclical Theory )
Teori ini mencoba melihat bahwa suatu perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya. Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari.
Sementara itu, beberapa bentuk Teori Siklis adalah sebagai berikut:
a.        Teori Oswald Spengler (1880-1936)
Menurut teori ini, pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Pentahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.
b.        Teori Pitirim A. Sorokin (1889-1968)
Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi.
1)        Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
2)        Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.
3)        Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
c.         Teori Arnold Toynbee (1889-1975)
Toynbee menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya. (http://luwesagustina.blogspot.com/2010/ 11/ materi-perubahan-sosial.html)

5.         Teori Linier (Teori Perkembangan)
Perubahan sosial budaya bersifat linier atau berkembang menuju titik tertentu, dapat direncanakan atau diarahkan.  Beberapa tokoh sosiologi mengemukakan tentang teori linier yaitu:
a.         Emile Durkheim: Masyarakat berkembang dari solidaritas mekanik ke solidaritas organic
b.        Max Weber : Masyarakat berubah secara linier dari masyarakat yang diliputi oleh pemikiran mistik dan penuh tahayul menuju masyarakat yang rasional
c.         Herbert Spencer : mengembangkan teori Darwin, bahwa orang-orang yang cakap yang akan memenangkan perjuangan hidup
Ketiga tokoh diatas menggambarkan bahwa setiap masyarakat berkembang melaui tahapan yang pasti.  Teori Linier dibedakan menjadi:
a.        Teori evolusi
Perubahan sosial budaya berlangsung sangat lambat dalam jangka waktu lama. Perubahan sosial budaya dari masyarakat primitif, tardisional dan bersahaja menuju masyarakat modern yang kompleks dan maju secara bertahap
Comte mengemukakan perkembangan masyarakat mengikuti perkembangan cara berfikir masyarakat tersebut yaitu tahap teologi (khayalan), tahap metafisis (abstraksi) dan tahap ilmiah (positif)
Sedangkan Lenski berpendapat bahwa masyarakat berubah dari pra industri, industri dan pasca industry.
Beberapa teori Evolusi:
1)        Teori Evolusi Unilinear
Masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan tertentu, berawal dari bentuk sederhana, komplek hingga sempurna. Tokohnya antara lain, Comte, Spencer. Suatu Variasi dari teori ini adalah Cylical theories dari Vilfredo Pareto
2)        Teori Evolusi Universal
Perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui tahapan tertentu tetapi mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Misal dari kelompok homogen ke kelompok yang heterogen sifat dan susunannya (Herbert Spencer)
3)        Teori Evolusi Multilinear
Teori ini menekankan penelitian terhadap tahap perkembangan yang tertentu dalam evolusi masyarakat, misal penelitian pengaruh sistem perubahan sistem mata pencaharian dari berburu ke sistem pertanian atau terhadap sistem kekeluargaan dalam masyarakat yang bersangkutan
b.        Teori Revolusi
       Perubahan sosial menurut teori revolusi adalah perubahan sosial budaya berlangsung secara drastic atau cepat yang mengarah pada sendi utama kehidupan masyarakat (termasuk kembaga kemasyarakatan).
       Karl Marx berpendapat bahwa masyarakat berkembang secara linier dan bersifat revolusioner, dari yang bercorak feodal lalu berubah revolusioner menjadi masyarakat kapitalis kemudian berubah menjadi masyarakat sosialis – komunis yang merupakan puncak perkembangan masyarakat
       Suatu revolusi dapat berlangsung dengan didahului suatu pemberontakan (revolt rebellion). Adapun syarat revolusi adalah :
1)        Ada keinginan umum mengadakan suatu perubahan
2)        adanya kelompok yang dianggap mampu memimpin masyarakat
3)        pemimpin harus mampu manampung keinginan masyarakat
4)        pemimpin menunjukkan suatu tujuan yang konkret dan dapat dilihat masyarakat
5)         adanya momentum untuk revolusi

6.         Teori Ekuilibrium
Pendekatan ekuilibrium menyatakan bahwa terjadinya perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah karena terganggunya keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat yang bersangkutan, baik karena adanya dorongan dari faktor lingkungan (ekstern) sehingga memerlukan penyesuaian (adaptasi) dalam sistem sosial, seperti yang dijelaskan oleh Talcott Parsons, maupun karena terjadinya ketidakseimbangan internal seperti yang dijelaskan dengan Teori kesenjangan Budaya (cultural lag) oleh William F. Ogburn (Tokoh yang juga menjelaskan mengenai teori materialis).
Teori ekuilibrium yang dijelaskan diatas cenderung mengatakan bahwa perubahan sosial dikarenakan adanya salah satu bagian sistem yang tidak berfungsi dengan baik. Dalam pendekatan ini perubahan sosial berjalan dengan lambat dan perubahan sosial diatur dan dikendalikan oleh struktur yang ada (behind design) atau rekayasa sosial.
Secara eksplisit pendekatan ini tidak menginginkan adanya perubahan sosial, dibukti dengan adanya keharus aktor atau institusi sosial untuk memiliki prinsip Adaptasi, Gold, Integrasi, (AGIL) dalam sistem sosial. Keseimbangan sistem dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama.

7.        Teori Materialis (Materialist Theory)
Teori Materialis disampaikan oleh William F. Ogburn.  Inti dari teori ini adalah bahwa:
1.      Penyebab dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan masyarakat karena kondisi sosial yang berlaku pada masa yang mempengaruhi pribadi mereka.
2.      Meskipun unsur-unsur sosial satu sama lain terdapat hubungan yang berkesinambungan, namun dalam perubahan ternyata masih ada sebagian yang mengalami perubahan tetapi sebagian yang lain  masih dalam keadaan tetap (statis). Hal ini juga disebut dengan istilah cultural lag, ketertinggalan menjadikan kesenjangan antar unsur-unsur yang berubah sangat cepat dan yang berubah lambat. Kesenjangan ini akan menyebabkan kejutan sosial pada masyarakat. Ketertinggalan budaya menggambarkan bagaimana beberapa unsur kebudayaan tertinggal di belakang perubahan yang bersumber pada penciptaan, penemuan dan difusi. Teknologi, menurut Ogburn, berubah terlebih dahulu, sedangkan kebudayaan berubah paling akhir. Dengan kata lain kita berusaha mengjar teknologi yang terus menerus berubah dengan mengadaptasi adat dan cara hidup kita untuk memenuhi kebutuhan teknologi. Teknologi menyebabkan terjadinya perubahan sosial cepat yang sekarang melanda dunia.
3.      Perubahan teknologi akan lebih cepat dibanding dengan perubahan pada perubahan budaya, pemikiran, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang menjadi alat untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, perubahan seringkali menghasilkan kejutan sosial yang yang apada gilirannya akan memunculkan pola-pola perilaku baru, meskipun terjadi konflik dengan nilai-nilai tradisional.

8.      Teori Modernisasi
Pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh Wilbert More, Marion Levy, dan Neil Smelser, pada dasarnya merupakan pengembangan dari pikiran-pikiran Talcott Parsons, dengan menitikberatkan pandangannya pada kemajuan teknologi yang mendorong modernisasi dan industrialisasi dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Hal ini mendorong terjadinya perubahan-perubahan yang besar dan nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk perubahan dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat. (http://ayouk91.blogspot.com/2010/11/teori-perubahan-sosial-budaya-oleh.html)

D.      Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Perubahan Sosial Budaya
1.      Bentuk-bentuk perubahan sosial budaya
a.        Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat
Perubahan lambat disebut juga evolusi. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-usaha masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Contoh perubahan evolusi adalah perubahan pada struktur masyarakat. Suatu masyarakat pada masa tertentu bentuknya sangat sederhana, namun karena masyarakat mengalami perkembangan, maka bentuk yang sederhana tersebut akan berubah menjadi kompleks.
Perubahan cepat disebut juga dengan revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu.
Berikut ini beberapa persyaratan yang mendukung terciptanya revolusi:
1)        Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
2)        Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang mampu memimpin masyarakat tersebut
3)        Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi.
4)        Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat.
5)        Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi.
Contoh perubahan secara revolusi adalah gerakan Revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlevi yang otoriter dan mengubah sistem pemerintahan monarki menjadi sistem Republik Islam dengan Ayatullah Khomeini sebagai pemimpinnya.
b.        Perubahan Kecil dan Perubahan Besar
Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian.
Sebaliknya, perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.
c.         Perubahan yang Dikehendaki (Direncanakan) dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki (Tidak Direncanakan)
Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi.
Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan. Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi. (http://www.anneahira.com/bentuk-bentuk-perubahan-sosial.htm)


2.         Faktor yang menyebabkan perubahan sosial budaya
a.        Faktor intern, antara lain:
1)        Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
2)        Adanya Penemuan Baru:
a)         Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
b)        Invention : penyempurnaan penemuan baru
c)         Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada.
Penemuan baru didorong oleh: kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau anggota masyarakat
3)        Konflik yang terjadii dalam masyarakat
4)        Pemberontakan atau revolusi
b.        Faktor ekstern, antara lain:
1)        perubahan alam atau lingkungan fisik di sekitar manusia
2)        peperangan dengan negara lain
3)        pengaruh kebudayaan lain melalui difusi (penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi)

3.         Faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial budaya
a.        Faktor pendorong
1)        Kontak dengan kebudayaan lain
a)         difusi intra masyarakat
b)        difusi antar masyarakat
2)        Sistem pendidikan formal yang maju
3)        Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju
4)        Toleransi terhadap perbuatan yang menyimpang dan bukan merupakan delik
5)        Sistem lapisan masyarakat terbuka
6)        Penduduk yang heterogen
7)        Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang –bidang kehidupan tertentu
8)        Oreintasi ke masa depan
9)        Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya
b.        Faktor penghambat
1)        Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
2)        Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
3)        Sikap masyarakat yang sangat tradisional
4)        Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interest
5)        Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
6)        Prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing atau sikap tertutup
7)        Hambatan–hambatan yang bersifat ideologis
8)        Adat atau kebiasaan
9)        Nilai bahwa hidup ini pada hakekatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki (http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Perubahan_Sosial_Budaya_Dalam_Masyarakat_9.1%28BAB5%29)


Sifat Lapisan Masyarakat:
Terbuka:
memungkinkan terjadinya mobilisasi vertikal
tidak ada batas antar lapisan dalam kehidupan di masyarakat
contohnya: kedudukan dalam pemerintahan, partai politik atau profesi, dll
Tertutup:
sukar terjadi mobilisasi vertikal, bahkan tertutup sama sekali
ada batas yang jelas antar lapisan masyarakat dalam kehidupan di masyarakat
contohnya: kasta, kebangsawan, dll
Unsur Baku
dalam Sistem Lapisan Masyarakat:
1.Kedudukan, yaitu :
Tempat seseorang dalam suatu pola lapisan di masyarakat
Kumpulan hak-hak dan kewajiban
2.Peranan:
Aspek dinamis dari suatu kedudukan (status)
Jika seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia sudah menjalankan suatu peranan
Kedudukan (Status):
Macamnya:
Ascribed Status (by Kelahiran), contoh:
Achieved Status (by usaha), contoh :
As Signed Status(by diberikan), contoh :
Bagaimana dengan PROFESI PERAWAT & NAKES ?
Kedudukan seseorang tercermin dari ciri-ciri tertentu dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut:Satus Symbol
Kedudukan yang banyak kadang memunculkan: Status Conflict

Comments

Popular Posts