MAKALAH FIQIH KELAS XII
A. Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
Selain dari empat dalil
hukum disepakati diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga
dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan
dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan
dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu ada Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati oleh
para ulama itu banyak, dan yang kami temui ada 3 hukum, seperti dibawah ini :
1.
Isthisan,
2.
isthisab,
3.
Maslahah Mursalah,
Untuk pengertian dari masing-masing hukum diatas akan
kami jelaskan pada pemnahsan selanjutnya.
B. Pengertian dari Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati beserta
kehujjahanya
Macam-macamnya yaitu : Al-Istihsan,
Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, dan Syaru Man Qablana.
1. Isthisan (الإستحسان)
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik atau
mencari kebaikan. Menurut ulama ushul fiqh, ialah berpaling pada sesuatu
masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain karena ada alasan yang
lebih kuat”. Jadi ostihsan ialaig berpaling dari qiyas kahfi atau dari hukum
kulli menuju yang dikecualikan karena ada dalil yang lebih kuat.[1][2]
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan
dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan
mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan
hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti
ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya,
sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu
arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil
yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”
Namun kalau diteliti
lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi
berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul
karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya
istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu
asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan
hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya
semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu
sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan
kaidah-kaidah syara” yang umum.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab
Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan
bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan
bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi
yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua
dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian
kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi
Isthisan”.[2][3]
2. Isthishab (الإستصحاب)
Menurut lughat ialah
membawa atau menemani. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab)
adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa
selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak
adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut). Atau
menetapkan suatu hukum sebelumnya, sehingga yang baru merubahnya.”[3][4]
Dari definisi diatas
melahirkan kaidah :
الأصل بقاء ماكان على
ماكان.
“Asal sesuatu itu tetap
seperti sedia kala”[4][5]
Banyak ulama yang
menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau
pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil
dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip
pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran
terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka
ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’,
kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa
sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu,
maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan
banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan
yang terpenting diantaranya, yaitu:
a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain
yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa
mudharat[5][6] -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya;
yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu
contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang
menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti
ijma’ dan qiyas
b. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya
seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga
datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau
mempertanggungjawabkan sesuatu
c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan
dengan masalah yang masih diperselisihkan.[6][7]
Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan
akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para
ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat
beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang
telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.[7][8]
3. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum) (المصلحة المرسلة)
Mashalihul mursalah
terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara
etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat/madharat.
Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya
manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari
aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat.
Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan
dalam menegakan maslahat” .[8][9]
Seperti dijelaskan
sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan
oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah
dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak
dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam
menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat
mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda
dengan Imam Ghazali.
6.
Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun
bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak
masuk kepada mashlahat mursalah.
7.
Sinergi dengan maqhasid syari’ah
8.
Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul
haraj).
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih menurut Abdul
Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya
maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan
hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau
qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak
boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’”. [9][10]
Akan tetapi masih
banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka
berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang
membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa
dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan
pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena
apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan
akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap
kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya
sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam
penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah
mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah
sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya.
Comments
Post a Comment