TAREKAT SAMMANIYAH
Tarekat ini berkembang pesat di
wilayah Afrika bagian utara,terutama Sudan.Di samping Naqsyabandiah,
Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya
Tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat
Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syazili (wafat 1258) di
Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Muhammad bin Abdul Karim as-Samani
al-Hasani al-Madani (1718-1775 M).
Tarekat ini berhasil membentuk
jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan utara Afrika,
yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di Suriah dan
Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan
penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana tarekat
ini berkembang luas.
Salah satu negara Afrika yang banyak
memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan
atas jasa dari Syekh Ahmad at-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di
Makkah sekitar tahun 1800. Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang terkenal
ialah Syekh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang pernah
memproklamasikan dirinya sebagai mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota Tarekat
Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat
Sudan.
Syekh Muhammad Ahmad menghendaki
adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan sesuai dengan
agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang bermacam-macam
aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan
pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik
keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi. Ini
semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran syariat.
Syekh Muhammad Ahmad juga menentang
pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita pada upacara
pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan ziarah ke
kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi Muhammad SAW,
ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan, lalu menyebut
diri mereka sebagai Ansar (penolong) Nabi SAW. Lebih jauh, kelompok ini
berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi militer yang
sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan yang teratur serta administrasi yang
baik.
Amalan Sammaniyah
TAREKAT SAMMANIYAH
Tarekat ini berkembang pesat di wilayah Afrika bagian utara,terutama Sudan.Di samping Naqsyabandiah, Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya Tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syazili (wafat 1258) di Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M).Tarekat ini berhasil membentuk jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan utara Afrika, yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di Suriah dan Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana tarekat ini berkembang luas.
Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan atas jasa dari Syekh Ahmad at-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di Makkah sekitar tahun 1800. Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang terkenal ialah Syekh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang pernah memproklamasikan dirinya sebagai mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota Tarekat Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat Sudan.
Syekh Muhammad Ahmad menghendaki adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan sesuai dengan agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang bermacam-macam aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi. Ini semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran syariat.
Syekh Muhammad Ahmad juga menentang pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita pada upacara pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan ziarah ke kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi Muhammad SAW, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan, lalu menyebut diri mereka sebagai Ansar (penolong) Nabi SAW. Lebih jauh, kelompok ini berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi militer yang sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan yang teratur serta administrasi yang baik.
Amalan Sammaniyah
Ciri-ciri Tarekat Sammaniyah adalah berzikir La llaha Illa Allah dengan suara yang keras oleh para pengikutnya. Dalam mewiridkan bacaan zikir, para murid Tarekat Sammaniyah biasa melakukannya secara bersama-sama pada malam Jumat di masjid-masjid atau mushala sampai tengah malam.
Selain itu, ibadah yang diamalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani adalah shalat sunah Asyraq (setelah Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat, memperbanyak riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT), dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
Berikut adalah beberapa ajarannya yang terkenal. Pertama, memperbanyak shalat dan zikir. Kedua, bersikap lemah lembut kepada fakir miskin. Ketiga, tidak mencintai dunia. Keempat, menukarkan akal basyariyah (kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah (ketuhanan). Kelima, menauhidkan Allah SWT, baik dalam zat, sifat, maupun a/aZ-Nya. Bed sya
Syekh Samman Sang Pendiri Sammaniyah
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan
sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bm Abdul Karim as-Samani al-Hasani
ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah seorang fakih, ahli hadis, dan
sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 1132 Hijriyah
atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya berasal dari suku
Quraisy.
Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di
Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik zikir,
wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan
Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang
mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan
melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk
menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah
Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal adalah kitab Allnsab. Ia
juga mengarang buku-buku lain, seperti Mujamu al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh
Baghdad, dan Tarikh Marv.Kemuliaan
Syekh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman, keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman.
Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. “Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus,” kata Abdullah al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib. diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.
Tarekat Sammaniyah di Indonesia
Tarekat Sammaniyah dibawa ke Indonesia oleh empat orang ulama yang dijuluki dengan empat serangkai.Sebagaimana tarekat-tarekat besar lainnya seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan Syattariyah, Tarekat Sammaniyah juga berkembang di Indonesia. Di bumi nusantara ini, tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M), dibawa oleh sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Mereka yang memiliki perhatian cukup besar terhadap Tarekat Sammaniyah terdapat empat orang murid asal Indonesia, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman al-Masri (Betawi). Mereka ini terkenal pula dengan julukan “empat serangkai.”
Karena peran keempat tokoh tersebut, Tarekat Sammaniyah berkembang di Tanah Air, seperti Aceh, Sumatra Selatan, Jakarta (Betawi), Kalimantan (Banjar), dan Sulawesi (Bugis). Keempatnya berjasa besar dalam memperkenalkan Tarekat Sammaniyah ke Indonesia.
Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Awalnya, Syekh Samman merupakan pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. ia kemudian memadukan berbagai unsur tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat tersendiri dengan nama Tarekat Sammaniyah.
Menurut Usman Said, dalam bukunya Pengantar Ilmu Tasawuf (1981,258), di Indonesia Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan, Sumatra terutama Palembang dan beberapa daerah lainnya. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah sekitarnya. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh Abdussamad al-Falimbani, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan Tarekat Sammaniyah di nusantara, terutama Sumatra dan daerah sekitarnya.
Sedangkan di Jakarta, diperkenalkan oleh Syekh Abdurrahman al-Masri, dan di Kalimantan Selatan, khususnya Martapura dan Banjarmasin, diperkenalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, yang menjadi menantu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ulama lainnya yang berperan besar dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durun Nafis (Permata yang Indah). Kitab ini berisi tentang masalah tasawuf.
Menurut Abu Bakar Atjeh, ciri-ciri Tarekat Sammaniyah ini, antara lain, adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir Laa ilaaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah. (Pengantar Ilmu Tasawuf, 1979, 47).
Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman, antara lain, memper Syekh Muhammad Asyad Al-Banjari
banyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin. Tidak mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat. sifat, dan afal-Nya.
Penyebaran di Indonesia
Penyebaran Tarekat Sammaniyah di wilayah Sumatra, dilakukan oleh Syekh Abdussamad al-Falimbani (wafat 1800 M). Menurut riwayat, sebelum ke Palembang, Syekh Abdussamad al-Falimbani dahulunya menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Aceh. Ia mengajarkan doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman. Namun dalam perkembangannya, zikir itu dinyanyikan oleh sekelompok orang.
Menurut Snouck Hurgronje (orientalis yang menulis tentang Islam di Indonesia), Syekh Samman menulis sejumlah ratib yang terkenal dengan nama Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat Samman, sangat populer. Ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan (tarian) rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian). (Usman Said, 1981, 286). Tarian Saman ini. hingga kini sangat terkenal di seantero nusantara yang berasal dari Aceh.
Sebagian ulama Aceh, dulu pernah menentang pembacaan Ratib Saman yang dinyanyikan atau ditarikan. Tarian Meu-saman atau Seudati ini sedikitnya dimainkan oleh delapan orang pria atau wanita.
Kendati awal mulanya berkembang di Aceh, namun penyebaran Tarekat Sammaniyah berkembang luas di Palembang (Sumatra Selatan), tempat kelahiran Syekh Abdussamad Al-Falimbani, yakni sekitar abad ke-18.
Martin Van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul “Tarekat dan Politik; Amalan untuk Dunia dan Akhirat”, Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Tanah Suci oleh murid-murid Abdussamad Al-Falimbani. Menurut Van Bruinessen, Syekh Abdussamad al-Falimbani adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia.
Sementara itu, di daerah Kalimantan Selatan, perkembangan Tarekat Sammaniyah ini, menurut Zulfajamalie dalam Menelusuri Penyebaran Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar, dilakukan oleh tga ulama terkenal. Mereka adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis,
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.
Syekh Muhammad Arsyad, jelas Zulfajamalie, menyebarkan Tarekat Sammaniyah di daerah Kalampayan Martapura, Syekh Muhammad Nafis di daerah Kelua (Kabupaten Tabalong), dan Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis di daerah Tanah Laut, Kota Baru, Pagatan, dan daerah sekitarnya.
Sepeninggal ketiga tokoh tersebut, penyebaran Tarekat Sammaniyah diteruskan oleh ulama-ulama lainnya dan sebagian masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Di antaranya Syekh KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Ijai, wafat 2005) di daerah Sekumpul (Martapura), dan Syekh Muhammad Syarwani Abdan (Bangil, Jawa Timur).
Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (1999, 66), menyebutkan, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari memiliki peran yang cukup besar dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah.
Hal senada juga diungkapkan Laily Manshur dalam Kitab ad-Durun Nafis, Tinjauan atas Ajaran Tasawuf dan Ahmadi Isa dalam Syekh Muhammad Nafis dan Kitabnya al-Durr al-Nafis.
Ada beberapa alasan mengenai penyebaran Tarekat Sammaniyah yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari di Kalimantan Selatan. Pertama, Laily Manshur menulis, Muhammad Nafis juga berguru pada Syekh Muhammad Samman. Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Afal wa al-Asma wa al-Shifat iva al-Zat al-Taqdis, berisi pelajaran tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat, dkn afal dan ditulisnya pada 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Makkah. Termaktub pengakuannya bahwa Syafii adalah mazhab fikihnya, Asyari itiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi al-Baghdadi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Syattariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya, dan Sammaniyah minumannya.
Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah, Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.
Wa Allahu Alam. U
rzikir La llaha Illa Allah dengan
suara yang keras oleh para pengikutnya. Dalam mewiridkan bacaan zikir, para
murid Tarekat Sammaniyah biasa melakukannya secara bersama-sama pada malam
Jumat di masjid-masjid atau mushala sampai tengah malam.
Selain itu, ibadah yang diamalkan
oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani adalah shalat sunah Asyraq
(setelah Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat, memperbanyak
riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT),
dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
Berikut adalah beberapa ajarannya
yang terkenal. Pertama, memperbanyak shalat dan zikir. Kedua, bersikap lemah
lembut kepada fakir miskin. Ketiga, tidak mencintai dunia. Keempat, menukarkan
akal basyariyah (kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah (ketuhanan). Kelima,
menauhidkan Allah SWT, baik dalam zat, sifat, maupun a/aZ-Nya. Bed sya
Syekh Samman Sang Pendiri Sammaniyah
Kemunculan Tarekat Sammaniyah
bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bm Abdul
Karim as-Samani al-Hasani ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah seorang
fakih, ahli hadis, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada
tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya
berasal dari suku Quraisy.
Semula, ia belajar Tarekat
Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi
teknik zikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan
diri dengan Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah.
Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari
Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia
rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri
yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam,
Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling
terkenal adalah kitab Allnsab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mujamu
al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Kemuliaan
Syekh Muhammad Samman dikenal
sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh
al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman, keduanya
mengungkapkan sosok Syekh Samman.
Sebagaimana guru-guru besar tasawuf,
Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya.
Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. “Ketika kaki diikat sewaktu
di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah.
Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman,
kulihat rantai yang melilitku telah terputus,” kata Abdullah al-Basri. Padahal,
kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syekh
Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib. diperolehnya
sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman
berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang
indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang membawakan
pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian
memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan
jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya
sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada
penduduk Kota Madinah.
Tarekat Sammaniyah di Indonesia
Tarekat Sammaniyah dibawa ke
Indonesia oleh empat orang ulama yang dijuluki dengan empat serangkai.
Sebagaimana tarekat-tarekat besar lainnya seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan Syattariyah, Tarekat Sammaniyah juga berkembang di Indonesia. Di bumi nusantara ini, tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M), dibawa oleh sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Mereka yang memiliki perhatian cukup besar terhadap Tarekat Sammaniyah terdapat empat orang murid asal Indonesia, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman al-Masri (Betawi). Mereka ini terkenal pula dengan julukan “empat serangkai.”
Sebagaimana tarekat-tarekat besar lainnya seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan Syattariyah, Tarekat Sammaniyah juga berkembang di Indonesia. Di bumi nusantara ini, tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M), dibawa oleh sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Mereka yang memiliki perhatian cukup besar terhadap Tarekat Sammaniyah terdapat empat orang murid asal Indonesia, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman al-Masri (Betawi). Mereka ini terkenal pula dengan julukan “empat serangkai.”
Karena peran keempat tokoh tersebut,
Tarekat Sammaniyah berkembang di Tanah Air, seperti Aceh, Sumatra Selatan,
Jakarta (Betawi), Kalimantan (Banjar), dan Sulawesi (Bugis). Keempatnya berjasa
besar dalam memperkenalkan Tarekat Sammaniyah ke Indonesia.
Syekh Samman adalah seorang ulama
dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Awalnya, Syekh Samman merupakan
pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah,
dan Syadziliyah. ia kemudian memadukan berbagai unsur tarekat-tarekat tersebut
menjadi cabang tarekat tersendiri dengan nama Tarekat Sammaniyah.
Menurut Usman Said, dalam bukunya
Pengantar Ilmu Tasawuf (1981,258), di Indonesia Tarekat Sammaniyah pertama kali
tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan, Sumatra
terutama Palembang dan beberapa daerah lainnya. Demikian pula di Jakarta sangat
besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah sekitarnya. Murid
Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh Abdussamad al-Falimbani, yang
umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan Tarekat
Sammaniyah di nusantara, terutama Sumatra dan daerah sekitarnya.
Sedangkan di Jakarta, diperkenalkan
oleh Syekh Abdurrahman al-Masri, dan di Kalimantan Selatan, khususnya Martapura
dan Banjarmasin, diperkenalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh
Muhammad Abdul Wahab Bugis, yang menjadi menantu Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari. Ulama lainnya yang berperan besar dalam menyebarkan Tarekat
Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah Syekh Muhammad Nafis al-Banjari,
pengarang kitab Ad-Durun Nafis (Permata yang Indah). Kitab ini berisi tentang
masalah tasawuf.
Menurut Abu Bakar Atjeh, ciri-ciri
Tarekat Sammaniyah ini, antara lain, adalah zikirnya yang keras-keras dengan
suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir Laa ilaaha illa
Allah, di samping itu juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya
mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah. (Pengantar Ilmu Tasawuf, 1979,
47).
Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh
Syekh Samman, antara lain, memper Syekh Muhammad Asyad Al-Banjari
banyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin. Tidak mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat. sifat, dan afal-Nya.
banyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin. Tidak mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat. sifat, dan afal-Nya.
Penyebaran di Indonesia
Penyebaran Tarekat Sammaniyah di
wilayah Sumatra, dilakukan oleh Syekh Abdussamad al-Falimbani (wafat 1800 M).
Menurut riwayat, sebelum ke Palembang, Syekh Abdussamad al-Falimbani dahulunya
menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Aceh. Ia mengajarkan doa dan zikir yang
didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni mengajarkan zikir
yang termuat dalam ratib Samman. Namun dalam perkembangannya, zikir itu
dinyanyikan oleh sekelompok orang.
Menurut Snouck Hurgronje (orientalis
yang menulis tentang Islam di Indonesia), Syekh Samman menulis sejumlah ratib
yang terkenal dengan nama Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat
Samman, sangat populer. Ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu
macam permainan (tarian) rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).
(Usman Said, 1981, 286). Tarian Saman ini. hingga kini sangat terkenal di
seantero nusantara yang berasal dari Aceh.
Sebagian ulama Aceh, dulu pernah
menentang pembacaan Ratib Saman yang dinyanyikan atau ditarikan. Tarian
Meu-saman atau Seudati ini sedikitnya dimainkan oleh delapan orang pria atau
wanita.
Kendati awal mulanya berkembang di
Aceh, namun penyebaran Tarekat Sammaniyah berkembang luas di Palembang (Sumatra
Selatan), tempat kelahiran Syekh Abdussamad Al-Falimbani, yakni sekitar abad
ke-18.
Martin Van Bruinessen dalam
artikelnya yang berjudul “Tarekat dan Politik; Amalan untuk Dunia dan Akhirat”,
Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Tanah Suci oleh
murid-murid Abdussamad Al-Falimbani. Menurut Van Bruinessen, Syekh Abdussamad
al-Falimbani adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia.
Sementara itu, di daerah Kalimantan
Selatan, perkembangan Tarekat Sammaniyah ini, menurut Zulfajamalie dalam
Menelusuri Penyebaran Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar, dilakukan oleh tga
ulama terkenal. Mereka adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad
Abdul Wahab Bugis,
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.
Syekh Muhammad Arsyad, jelas
Zulfajamalie, menyebarkan Tarekat Sammaniyah di daerah Kalampayan Martapura,
Syekh Muhammad Nafis di daerah Kelua (Kabupaten Tabalong), dan Syekh Muhammad
Abdul Wahab Bugis di daerah Tanah Laut, Kota Baru, Pagatan, dan daerah
sekitarnya.
Sepeninggal ketiga tokoh tersebut,
penyebaran Tarekat Sammaniyah diteruskan oleh ulama-ulama lainnya dan sebagian
masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Di antaranya Syekh KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Ijai, wafat 2005) di
daerah Sekumpul (Martapura), dan Syekh Muhammad Syarwani Abdan (Bangil, Jawa
Timur).
Van Bruinessen dalam Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (1999, 66),
menyebutkan, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari memiliki peran yang cukup besar
dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah.
Hal senada juga diungkapkan Laily
Manshur dalam Kitab ad-Durun Nafis, Tinjauan atas Ajaran Tasawuf dan Ahmadi Isa
dalam Syekh Muhammad Nafis dan Kitabnya al-Durr al-Nafis.
Ada beberapa alasan mengenai
penyebaran Tarekat Sammaniyah yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad Nafis
al-Banjari di Kalimantan Selatan. Pertama, Laily Manshur menulis, Muhammad
Nafis juga berguru pada Syekh Muhammad Samman. Kedua, dalam kitab tasawufnya
Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Afal wa al-Asma wa al-Shifat iva al-Zat
al-Taqdis, berisi pelajaran tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok
ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat, dkn afal dan
ditulisnya pada 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Makkah. Termaktub
pengakuannya bahwa Syafii adalah mazhab fikihnya, Asyari itiqad tauhid atau
ushuluddinnya, Junaidi al-Baghdadi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya,
Syattariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya, dan
Sammaniyah minumannya.
Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad
Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah, Syekh
Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang
diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai
Syekh Mursyid.
Wa Allahu Alam. U
Comments
Post a Comment