SUMBER HUKUM ISLAM
A. Pendahuluan
Sumber Hukum Islam merupakan salah
satu hal yang fundamental dalam perkembangan hukum Islam. Hal ini disebabkan
oleh perkembangan zaman di mana masalah semakin kompleks sehingga menuntut
fleksibilitas hukum Islam dalam menjawab persoalan yang aktual. Islam sebagai
agama yang sempurna tentu telah menyediakan pokok-pokok hukum yang dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“...tiadalah kami alpakan sesuatupun
dalam Al-Kitab Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (Soenarjo, dkk.,
2006: 177)
Sebahagian Mufassirin
menafsirkan Al-Kitab itu dengan lauh al-mahfuzh dengan arti bahwa
nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam lauh al-mahfuzh.
dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran
itu Telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan
pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan
makhluk pada umumnya. (Soenarjo, dkk., 2006: 177)
Pentingnya mendalami sumber hukum
Islam ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisa ayat 59, yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Soenarjo, dkk., 2006: 114).
B. Pengertian Sumber Hukum Islam
Apa itu sumber hukum Islam? Sumber
dari segi bahasa dapat diartikan tempat mengambil atau asal pengambilan
(Basiq Djalil, 2010: 142). Hukum secara bahasa adalah menetapkan sesuatu
atas sesuatu yang lain (Basiq Djalil, 2010: 34), sedangkan Islam itu sendiri
adalah nama agama. Maka bila di rangkai secara bahasa diperoleh pengertian
sumber hukum Islam adalah asal pengambilan dalam menetapkan sesuatu/peristiwa
sesuai dengan ketentuan dalam agama Islam. Secara opersional dapat dipahami
bahwa sumber hukum Islam adalah dasar/landasan penetapan sesuatu dalam Islam.
Sedangkan menurut istilah syara’ hukum
adalah:
”Firman Allah Ta’ala yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf , yang mengandung tuntutan
atau membolehkan memilih atau adanya (suatu hukum) karena adanya yang lain”.
(Basiq Djalil, 2010: 34).
Dengan demikian sumber hukum Islam
dapat dipahami sebagai penetapan Allah SWT., tentang suatu
perbuatan/kejadian/peristiwa yang dibebankan kepada orang mukallaf .
Jadi kalau orang mukallaf melakukan suatu pekerjaan atau ada suatu
peristiwa berhubungan dengan orang mukallaf , maka akan ada hukumnya.
Kalau sumbernya hukum Islam berarti hukum tersebut diambil dari Islam, yaitu
bersumber (diambil/berdasarkan) kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
2. Sumber Hukum Islam yang Disepakati
Apa saja sumber hukum Islam yang disepakati?
Sumber hukum Islam yang disepakati menurut Abdul Majid Al-Khafawi (Satria
Efendi, 2008: 78) ada 4, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’ dan qiyas.
Hal tersebut berdasarkan kepada firman Alah dalam surat Al-Nisa ayat 59, yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(Soenarjo, dkk., 2006: 114)
Menurut Abdul Wahhab Khalaf (2003:
14) yang dimaksud dengan mentaati Allah dan rasul-Nya adalah mengikuti
Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Perintah mentaati ulil amri (pemimpin) di
antara umat Islam adalah mengikuti hukum yang telah disepakati oleh para mujtahid,
karena merekalah pemimpin umat dalam penetapan hukum-hukum Syara’ .
Sedangkan perintah mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada Allah dan
rasul-Nya ialah perintah mengikuti qiyas (selama masalah itu tidak
terdapat nash atau kesepakatan di antara mujtahid). Karena qiyas
adalah menyesuaikan kejadian yang hukumnya memiliki nash dengan kejadian
yang hukumnya tidak memiliki nash dilihat dari kesamaan alasan atau
sebab antara dua kejadian tersebut.
Namun ada juga yang berpendapat
bahwa sumber hukum Islam itu hanya dua saja, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Sunnah saja hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa secara bahasa sumber
itu berbeda dengan cara/metode. Sebagai ilustrasinya, jika di depan kita ada
sekeranjang jeruk. Maka bila kita berpikir asal jeruk itu dari mana?, tentu
kita menjawab berasal dari pohon jeruk. Adapun bagaimana proses mendatangkan
jeruk?. Ini berarti caranya bagaimana. Bisa saja dengan cara dipetik langsung
atau dengan menggoyang-goyangkan pohonnya dan seterusnya. Dalam gambaran di
atas kita bisa membedakan antara sumber dan cara. Begitu juga dalam hukum Islam.
Ijtihad, ijma’, qiyas dan yang lainnya adalah cara/metode
bukan sumber. (Basiq Djalil, 2010: 142).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Ijtihad
itu cara/metode menggali hukum, begitu juga dengan ijma’ dan qiyas.
Dari hasil ijtihad tersebut lahirlah Fiqh (pemahaman-pemahaman
ulama), baik yang diformalkan atau telah diundangkan ataupun yang belum,
juga dapat berupa putusan-putusan pengadilan agama masa lalu yang diberlakukan
(yurisprudensi). Jadi bila sumber hukum Islam itu secara dapat
menjadi lima, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, Fiqh, qanun dan
yurisprudensi. Sumber hukum Islam yang disepakati bisa disederhanakan lagi
menjadi tiga, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan hasil ijtihad. Atau bisa
juga menjadi dua, yaitu wahyu dan akal. (Basiq Djalil, 2010: 142).
Ketegasan Al-Qur’an, Sunnah
Rasulullah, ijma’ dan qiyas menjadi sumber hukum Islam dijelaskan
pula dalam berbagai hadis. Salah satunya yang masyhur adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi. Hadis tersebut selain dijadikan
landasan para Ulama dalam menyepakati keempatnya menjadi sumber hukum
Islam, juga menjadi dalil urutan sumber hukum Islam itu sendiri. Hal itu
sebagaimana sabda Nabi Saw., yaitu:
Dari bin Jabal, bahwasanya Rasulullah Saw. Ketika
memerintahkannya ke Yaman bersabda:”Bagamaimana cara kamu memberi putusan hukum
ketika meghadapi masalah? “Mu’adz berkata:“Saya akan memutuskan dengan Kitab
Allah (Al-Qur’an). “Nabi bertanya:”jika kamu tidak menemukan dalam Kitab
Allah?”Jawab Mu’adz:”maka dengan sunnah Rasulullah.” Nabi bertanya:”jika kamu tidak
menemukan dalam sunnah Rasulullah?”Mu’adz menjawab:”Saya akan berijtihad
dengan pendapat saya, dan saya tidak akan mempersempit ijtihadku”. Rawi
Hadis berkata: “Maka Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan bersabda:”Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepata utusan Rasulullah terhadap
sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah.
(Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 15).
Pada Hadis di atas secara tegas
dapat dipahami bahwa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah merupakan sumber pokok
hukum Islam. Selanjutnya sebagai pelengkap adalah hasil ijtihad. Untuk
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., sebagai sumber hukum tidak akan dijelaskan,
karena secara rinci dan mendalam akan dibahas dalam ’Ulum Al-Qur’an
dan ’Ulum Al-Hadits bagi guru Al-Qur’an Hadits di Madrasah
Tsanawiyah. Untuk itu Saudara hanya perlu mendalami tentang ijma dan qiyas
yang akan dijelaskan secara singkat di bawah ini.
a. Ijma’
Apa itu ijma’? Ijma’
menurut bahasa artinya tekad (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 54), dapat juga
berarti kebulatan tekad terhadap suatu persoalan atau kesepakatan tentang
suatu masalah (Satria Efendi, 2008: 125). Hal di atas sebgaimana firman
Allah dalam surat Yunus ayat 71, yaitu:
“...karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah
keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah
kamu memberi tangguh kepadaku.” (Soenarjo, dkk., 2006: 291).
- Ulama Ilmu Ushul Fiqh, ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa tentang hukum Syara’ mengenai suatu kejadian setelah wafatnya Rasulullah Saw. Apabila ada suatu peristiwa yang pada saatnya terjadi diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka bersepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan itu disebut ijma’.(Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 54).
Senada dengan pengertian di atas,
Basiq Djalil (2010: 152) menyebutkan pengertian ijma’, yaitu:
“Kesepakatan atau persetujuan mujtahid
umat Muhammad Saw., setelah wafatnya pada suatu masa dari beberapa masa
terhadap suatu perkara (masalah) dari beberapa perkara”.(Basiq Djalil, 2010:
152).
Dari pendapat di atas jelas bahwa ijma’
merupakan kesepakatan para Ulama dalam memutuskan suatu perkara atau beberapa
perkara untuk ditentukan hukum dari perkara tersebut dalam masa waktu
tertentu. Kesepakatan tersebut terjadi setelahnya Rasulullah wafat.
Dalil tentang dapat dijadikan ijma’
sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an terdapat
banyak ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa ijma’ dapat dijadikan
sebagai sumber hukum Islam. Di antaranya adalah firman Allah dalam surat
Al-Nisa ayat 59 (sebagaimana telah disebutkan di atas) dan surat Al-Nisa
ayat 115, yaitu:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(Soenarjo, dkk., 2006: 127)
Hadis. Begitu juga ada beberapa
hadis mengenai dapat dijadikannya ijma’ sebagai sumber hukum Islam.
Selain hadis tentang Mu’adz bin Jabal juga ada beberapa hadis di antaranya
hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yaitu:
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah
Saw. bersabda:”Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau
berkata umat Nabi Muhammad Saw. atas kesesatan”. (H.R Tirmidzi sebagaimana
dikutip oleh Satria Efendi, 2008: 126)
Contoh ijma’ Ulama dalam
menentukan hukum Islam, di antaranya adalah kesepakatan Ulama tentang haramnya
mengawini ibu kandung dan nenek serta anak perempuan dan cucu perempuan.
Hal ini didasarkan kepada Al-Qur’an surat Al-Nisa ayat 23, yaitu:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Soenarjo, dkk., 2006: 105-106)
Para Ulama sepakat yang dimaksud ummahat
(para ibu) pada ayat di atas mencakup ibu kandung dan nenek. Sedangkan
kata banat (anak-anak wanita) mencakup anak perempuan kandung dan cucu
perempuan (Satria Effendi, 2008: 128). Lebih jelas lagi hasil ijma’
tentang masalah di atas sebagaimana penjelasan dalam terjemah Al-Qur’an
dijelaskan bahwa maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas.
dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan
dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud
dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur Ulama termasuk
juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. (Soenarjo, dkk., 2006: 106).
Ijma’ terbagi 2 (dua), yaitu ijma’
sharih dan ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah kesepakatan
Ulama dengan penyampaian persetujuan secara jelas terhadap hukum suatu
peristiwa/kejadian dengan memberikan pendapat masing-masing secara tegas
tentang hukum sesuatu tersebut. Sedangkan ijma’ sukuti adalah
kesepakatan Ulama dengan penyampaian persetujuan sebagiannya secara jelas dan
sebagian Ulama lainnya memberikan persetujuan tidak secara jelas terhadap hukum
suatu peristiwa/kejadian tersebut. Secara tidak jelas memberikan persetujuan
seperti diamnya (tidak berpendapatnya) para Ulama terhadap suatu keputusan
hukum yang tengah dibahas/disepakati. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 62).
Untuk ijma’ sharih secara
umum para Ulama telah menyepakatinya menjadi sumber hukum Islam. Sedangkan
untuk ijma’ sukuti berbeda-beda. Menurut madzhab Syafi’iyah dan
sebagian kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan hukum karena diamnya sebagian ulama tersebut belum tentu merupakan
terhadap hukum yang diputuskan. Tetapi menurut Hanafian dan Hanabilah bahwa ijma’
sukuti dapat dijadikan landasan hukum dengan alasan bahwa tidak mungkin
sebagaian ulama tersebut hanya diam bila hal yang diputuskan tersebut
bertentangan dengan pendapatnya. Jadi diamnya itu dapat diartikan setuju.
(Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 63-64 dan Satria Effendi, 2008: 129).
Qiyas
Apa itu qiyas? Qiyas
menurut bahasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
diketahui adanya persamaan di antara keduanya. (Satria Effendi, 2008: 130).
Sedangkan menurut Ahli Ushul Fiqh, qiyas adalah menyamakan
suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum, sebab sama
dalam ‘illat hukumnya. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 65).
Lebih lanjut Abdul Wahhab Khalaf
menjelaskan bahwa apabila ada nash yang menunjukan hukum pada suatu
peristiwa dan dapat diketahui ‘illat hukumnya dengan cara-cara
yang digunakan untuk mengetahui ‘illat hukum, kemudian
terjadi peristiwa lain yang sama ‘illat hukumnya, maka hukum kedua
masalah itu disamakan sebab memiliki kesamaan dalam hal ‘illat hukum.
Karena hukum dapat ditemukan ketika ‘illat hukum itu sudah
ditemukan (2003: 65).
Basiq Djalil (2010: 154) menjelaskan
lebih lanjut pengertian qiyas, yaitu:
“Mengeluarkan (suatu hukum yang
sama) dengan yang telah disebut, terhadap sesuatu yang belum disebut karena
persamaan di antara keduanya”. )Basiq Djalil, 2010: 154)
Pengunaan qiyas sebagai
sumber hukum Islam telah dijelaskan di atas. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian ijma’. Sedangkan kekuatan qiyas
sebagai hujjah, pernah ditegaskan oleh Khalifah Umar bin Khatab dalam pesannya
kepada Abu Musa Al-Asy’ariy, beliau pernah berkata: “...kemudian pahamilah
terhadap apa yang aku sampaikan kepadamu dalam menghadapi permasalahan
yang tidak memiliki nash Al-Qur’an dan sunnah, lalu carilah perbandingan
masalah-masalah itu. Pahamilah beberapa metode menetapkan hukum kemudian
yakinlah bahwa pendapatmu lebih dicintai Allah dan lebih mendekati kebenaran”.
Begitu juga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Kebenaran dapt diketahui dengan
membandingkan suatu masalah dengan masalah lain, menurut orang-orang yang
berakal”. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 73-74).
Dengan demikian jelaslah bahwa
kehujjahan qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam kedudukannya
kuat. Hal tersebut didukung oleh dalil-dalil sebagaimana yang telah dikemukakan
di atas.
Secara operasional qiyas
mempunyai rukun. Para Ulama menjelaskan bahwa qiyas dianggap sah jika
rukunnya lengkap. Rukun (unsur) qiyas, yaitu: al-ashal , al-far’u,
al-hukm al-ashal iy, al-‘illah. (Abdul Wahhab Khalaf, 2003:77).
Lebih lanjut dijelaskan unsur qiyas tersebut, yaitu:
$11) Al-Ashal , yaitu kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash.
Disebut juga al-maqiys ‘alaih, al-mahmul ‘alaih dan al-musabah
bih (yang digunakan sebagai ukuran, pembanding atau yang dipakai untuk
menyamakan).
$12) Al-far’u, yaitu kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash
dan kejadian tersebut disamakan hukumnya dengan al-ashal .
Disebut juga al-maqiys, al-mahmul dan al-musabah (yang
diukuran, dibandingkan atau disamakan).
$13) Al-hukm al-ashliy, yaitu hukum Syara’ yang dibawa oleh nash
dalam masalah ashal . Tujuannya adalah menjadi hukum dasar bagi masalah
baru.
$14) Al- ‘illah (‘illat ), yaitu alasan yang dijadikan dasar
hukum ashal , yang berdasarkan adanya illah itu pada masalah baru, maka
masalah baru itu disamakan hukumnya dengan hukum masalah ashal.
Supaya lebih jelas lagi mari kita
beberapa contoh qiyas, di antaranya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”. (Soenarjo, dkk., 2006: 163).
Ayat di atas menjelaskan tentang
haramnya meminum khamr. Muncul masalah baru, yaitu: bagaimana hukumnya
dengan perasan anggung atau kurma?. Ternyata perasan anggur atau kurma itu
memabukan, sehingga hukumnya menjadi haram sama dengan khamr. Secara
rinci contoh di atas dalam unsur qiyas adalah sebagi berikut:
$11) Masalah al-ashal adalah minum khamr
yang hukumnya haram, sebagaimana ditunjukan dengan larangan untuk menjauhinya.
$12) Masalah al-far’u adalah perasan anggur atau
kurma yang memabukan.
$13) Al-hukm al-ashliy, yaitu hukum haramnya meminum khamr,
sebagaiimana firman Allah SWT. di atas.
$14) Memabukkan menjadi al-‘illah (‘illat )
diharamkannya minuman khamr, sehingga semua minuman yang memabukan
hukumnya dapat disamakan dengan dengan khamr, yaitu hukumnya haram.
(Abdul Wahhab Khalaf, 2003: 66).
Walaupun sebenarnya masalah tentang khamr
ini telah jelas disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya sabda Nabi Saw.
di bawah ini:
“Setiap minuman yang memabukan itu haram”. (HR. Bukhari dan Muslim dikutip oleh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2005: 1061).
“Setiap minuman yang memabukan
adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”. (HR. Bukhari dan
Muslim dikutip oleh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2005: 1062)
Wahhab Al-Zuhaili (Satria Effendi,
2008: 140-142) membagi qiyas menjadi beberapa bagian, yaitu:
Qiyas Jalli
Qiyas jalli yaitu qiyas
yang didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Qiyas ini berasal dari qiyas awla dan qiyas
musawi. Qiyas awla adalah qiyas yang ‘illat pada
far’u lebih utama dibandingkan dengan ‘illat pada ashal .
Contoh seperti haramnya memukul orang tua merupakan qiyas dari haramnya
mengatakaan “ah” kepada orang tua. Hal ini sebagaimana dalam potongan firman
Allah SWT. dalam surat Al-Isra ayat 23, yaitu:
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (Soenarjo, dkk., 2006: 387).
’Illat dari haramnya memukul orang
tua dan haramnya mengatakaan “ah” sama-sama dikarenakan menyakiti orang tua.
Namur tindakan memukul (far’u) lebih menyakiti orang tua
dibandingkan dengan mengatakan “ah” (ashal ), sehingga hukuman untuk
memukul orang tua lebih berat dibandingkan dengan hukuman mengatakan “ah”
kepada orang tua. (Satria Effendi, 2008: 140).
Qiyas Musawi
Qiyas musawi adalah qiyas
di mana ‘illat yang terdapat pada far’u bobotnya sama
dengan bobot yang ada pada ashal . Seperti ‘illat hukum
haramnya membakar harta anak yatim (far’u) sama bobotnya dengan memakan
harta anak yatim (ashal ), yaitu sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT. dalam surat Al-Nisa ayat 10, yaitu:
”Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka)”.(Soenarjo, dkk., 2006:101).
Selain dua qiyas di atas,
dilihat dari perbandingan ‘illat juga dikenal istilah qiyas
adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u
bobotnya lebih rendah dibandingkan dengan ‘illat pada ashal .
Hal ini sebagaimana contoh sifat memabukan pada perasan anggur lebih
rendah dari sifat memabukan pada minuman khamr. Tetapi sifat memabukkan
sebagai ‘illat sehingga keduanya menjadi haram, namun kadar
memabukkannya yang berbeda. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat 90 sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
(Satria Effendi, 2008: 141).
Sedangkan qiyas khafi adalah
qiyas yang didasarkan atas ‘illat yang di-istinbat-kan
(ditarik) dari hukum ashal . Misalnya meng-qiyas-kan pembunuhan
dengan memakai benda tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan
adanya persamaan ‘illat yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan
pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan
benda tajam. (Satria Effendi, 2008: 142).
C. Penutup
Sumber hukum Islam adalah sumber
yang dapat dijadikan landasan untuk menghukumi mukallaf , ada yang
disepakati dijadikan sebagai sumber hukum ada yang tidak disepakati. Sumber
hukum Islam yang disepakati ada empat, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’
dan qiyas. Maksud disepakati adalah disepakati digunakan sebagai sumber
hukum Islam dan sah untuk digunakan sebagai dasar hukum penetapan perbuatan mukallaf
.
Comments
Post a Comment