TAREKAT AHMADIYAH
(TAREKAT NABI
SUCI MUHAMMAD SAW)
“Bacalah dengan nama Tuhan dikau Yang menciptakan, Yang
menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhan dikau adalah Yang paling
Murah-hati, Yang mengajar (manusia) dengan pena, Yang mengajarkan kepada
manusia apa yang ia tak tahu ” (Q.S. 96:1-5)
Islam itu Sufistik
Dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Suci Muhammad
saw itu semua ayatnya mengandung nilai sufistik. Perintah membaca dengan nama
Tuhan dikau (Rabbika) yang implementasinya adalah “Bismillahir-rahmanir-rahim”, artinya “Aku mohon pertolongan Allah
Yang Maha-pemurah, Yang Maha-pengasih”. Hanya dengan pertolongan Tuhan sajalah
manusia dapat mencapai kesempurnaan sebagaimana yang dituju oleh sufisme. Dalam
ayat pertama ini, Allah SWT menyatakan diri-Nya sebagai Rabb, yaituYang memelihara hingga sempurna, berarti wahyu yang diterima oleh Nabi
Suci, baik Quran Suci maupun Sunnah dan Hadits adalah sarana untuk
menyempurnakan diri beliau sebagai Uswatun Hasanah. Oleh karena itu beliau
bersabda bahwa siapa pun tak akan tersesat untuk selama-lamanya jika berpegang
kepada dua perkara yang beliau tinggalkan yakni Kitab Allah dan Sunnah
Nabi-Nya.
Ayat kedua menginformasikan, bahwa manusia diciptakan dari ‘alaq.Kata ‘alaq artinya
segumpal darah, yang di tempat lain disebutkan proses terjadinya
manusia melalui suatu tahap yang disebut `alaqah (23:14).Akan tetapi kata ‘alaq menurut Tajul-Arus
dan Lane Lexicon dapat juga diartikan kelekatan dan kecintaan. Maka dari itu Dr. Mourice Bucaille, seorang dokter
bedah Perancis dalam bukunya La Bible le Coran et la Science (1976)menerjemahkan ayat ini sbb: “Yang menciptakan
manusia dari sesuatu yang melekat”. Arti ini menurutnya sesuai dengan penemuan
sains modern. Sedang menurut Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya The
Holy Qur’an ayat ini dapat diartikan
“menciptakan manusia dari kecintaan”, karena menurut beliau “diriwayatkan dalam
sebuah Hadits bahwa Allah berfirman: “Aku suka agar Aku dikenal, maka dari itu
Aku menciptakan manusia” (tafsir no. 2770). Arti ini amat sufistik. Relevan
dengan dengan ayat sebelumnya.
Ayat ketiga berisi perintah membaca diikuti informasi
bahwa Tuhan adalah yang paling Murah-hati (akram).
Kata akram dan karim berasal dari kata karuma
maknanya amat dihormati atau mulia
sekali artinya Yang Murah-hati atau Yang
Maha-mulia. Sifat akram yang tertanam dalam diri manusia digunakan disini seperti dijelaskan oleh
Maulana Muhammad Ali adalah “sehubungan dengan tujuan besar yang dipastikan
dicapai oleh Nabi Suci berupa kejayaan dan kemuliaan” (tafsir no. 2771). Ini
dapat dicapai lewat membaca dengan memohon pertolongan Tuhan derajat manusia
terangkat, dari alaq atau segumpal darah yang mengandung arti
bahwa betapa tak berartinya asal-mula manusia dapat mencapai derajat mulia yang
kemuliaannya melebihi malaikat. Al-Junaid yang dikenal sebagai salah seorang
tokoh sufi terkenal mengemukakan bahwasanya sufi adalah perpindahan manusia
dari budi pekerti tercela menuju budi pekerti terpuji. Sang uswatun hasanah
telah menyatakan bahwa dirinya hanyalah diutus untuk menyempurnakan budi
pekerti.
Ayat keempat “Yang mengajar (manusia) dengan pena “ini
berarti, bahwa pena dan tulisan bukan saja alat ampuh untuk mempropagandakan
ilmu tentang keesaan Ilahi saja, melainkan pula pena dan tulisan digunakan
untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan menjaga keaslian Wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Suci Muhammad
saw. Betapa pentingnya pena (qalam) dalam wahyu
kedua digunakan Ilahi untuk bersumpah (68:1), agar manusia memperhatikannya.
Berkat pena ilmu dan pengalaman suatu generasi dapat ditransfer kepada generasi
berikutnya atau dari seseorang yang memiliki atau dikaruniai ilmu dapat
menyampaikan kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Jadi berkat ilmu
berkembang luas dan maju.
Ayat kelima “Yang mengajarkan kepada manusia apa yang ia
tak tahu”. Ayat ini melengkapi ayat sebelumnya. Jika ada dua cara yang
digunakan Ilahi dalam mengajar manusia, yaitu: pertama, melalui pena (tulisan) yang harus dibaca
oleh manusia guna mengetahui apa-apa yang telah terjadi, dan yang kedua, pengajaran secara langsung tanpa pena
(tulisan) yang banyak dialami oleh para Nabi Utusan Allah dan orang-orang
suci, yakni para wali dan mujaddid dari abad ke abad, yang berupa ilham, kasyaf
(visiun) dan ru’ya atau ru’yash-shalihah
(impian yang
baik), dengan cara ini seseorang tidak hanya mengetahui hal-hal yang telah
terjadi saja, melainkan pula dapat mengetahui hal-hal yang sedang dan akan
terjadi.
Dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Suci itu saja
dapat digaris-bawahi pernyataan Titus Burckhardt dalam bukunya An Introduction to Sufi Doctrine (1976)bahwa “peranan sufisme dalam dunia Islam benar-benar
seperti hati dalam diri manusia”. Hal ini nampak nyata dalam kehidupan Nabi
Suci dan para sahabatnya yang mulia, terutama Abu Bakar, Umar bin Khathab,
Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. Meski
sebagai kepala negara yang telah menaklukkan Romawi dan Persi, kehidupan mereka
sufistik seperti Penghulunya, mereka hidup dalam kesederhanaan dan wafat tanpa
meninggalkan istana dan harta yang diwariskan kepada ahli warisnya.
Tasawuf Modern
Memang sejarah mencatat pula bahwa pasca abad ke-4Hijriah
dunia Islam mengalami kemunduran yang sufisme menjadi salah satu sebabnya
sebagaimana telah dinubuatkan oleh Qur‘an Suci dan
Hadits Nabi, misalnya surat At-Takwir dan Hadits riwayat Bukhari, Tarmidzi, Baihaqi dll, bahwa pada akhir zaman
tatkala iman menggantung di bintang Tsuraya, keadaan dibumi, Islam tinggal
namanya dan Qur‘an Suci tinggal tulisannya, umat Islam
terpecah belah menjadi 73 golongan dan terpecah dua pola kehidupannya, satu
pihak terbuai oleh kenikmatan duniawi yang serba glamour dan dipihak lain
terjerumus kedalam kehidupan mistik yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani,
Kristiani, Persia dan Vedanta. Quran Suci dan Hadits Nabi mereka tinggalkan.
Dalam era globalisasi yang kompetitif ini kemajuan sains
dan teknologi yang serba materialistik, rasionalistik, verbalistik dan
sekularistik digugat, karena tak mampu menjangkau realitas-immaterial yang
sifatnya subyektif, intuitif dan eksperientalistik. Tuntutan ini hanya bisa
dicapai lewat jalur sufisme atau tasawuf Qur’anik yang sifatnya up to date
modern sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi Suci Muhammad saw. dan para
sahabatnya. Untuk mencukupi kebutuhan ini Allah Yang Rahman dan Rahim
membangkitkan H.M. Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid dalam bidang syariat dan
tarekat. Tarekat beliau adalah tarekat Nabi Suci Muhammad saw. yang menjadi
sumber kemajuan, baik dalam bidang duniawi maupun dalam bidang ukhrawi. Dua pola
kehidupan dipadukan, berjalan seiring sejalan. Karena bersumberkan kepada
undang-undang Allah, baik yang tersurat di dalam Qu‘ran Suci sebagai Kalamullah, Firman Allah (9:6). Yang di dalamnya tak ada pertentangan
(4:82) maupun yang tersirat dialam semesta sebagai Shunatullah, hasil Karya Allah (27:88) yang di
dalamnya juga tidak ada kekacauan (69:1-4). Antara Firman dengan pekerjaan
Allah tak ada pertentangan, sebab keduanya bersumber dari Kehendak-Nya.
Tarekat Ahmadiyah
Gerakan tajdid (pembaharuan) beliau kemudian dinamakan
Ahmadiyah. Untuk menunaikan kewajiban agama bergabung dengan beliau caranya
sebagai berikut:
Pertama mengucapkan baiat sbb:
Bismillahir-rahmanir-rahim. Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna
muhammadar-rasulullah.
Saya bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah; dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu Utusan Allah.
Pada hari ini
dibawahtangan ………….. saya menyatakan diri sebagai pengikut Gerakan Mujaddid
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih yang dijanjikan dan Mahdi. Dengan segala
keikhlasan hati saya bertobat atas dosa saya sampai hari ini, dan saya berjanji
akan menjauhkan diri dengan sekuat-kuatnya dari segala perbuatan dosa. Saya
berjanji dengan sekuat-kuatnya hendak menjunjung agama melebihi dunia. Dengan
sekuat-kuatnya saya hendak menetapi shalat, zakat, puasa dan naik haji ke
Mekkah. Dengan sekuat-kuatnya saya hendak tabligh agama Islam dan meluaskan
Gerakan Ahmadiyah seperti yang diperintahkan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia.
Ya Allah, ya Rabbi! Saya mohon ampun atas kesalahan saya, dan mohon
perlindungan dari dosa. Ya Tuhan, saya mengakui kesalahan saya, maka ampunilah
kesalahan saya, karena tidak ada yang dapat mengampuni kesalahan selain Engkau.
Setelah mengucapkan baiat dengan disaksikan oleh para
saksi, lalu mengucapkan “Janji Sepuluh” sbb:
1. Selama hidup tak akan
berbuat dosa syirik (yaitu menyembah Tuhan selain Allah).
2. Akan
mengingkari segala macam kejahatan, seperti misalnya: berdusta, berzina,
memandang orang lain dengan nafsu birahi, khianat, sewenang-wenang, mengacau
dan berbuat bencana, lagi pula tak akan tunduk kepada meluapnya hawa nafsu.
3. Akan tekun menjalankan
shalat lima waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya: dan dengan
sekuat-kuatnya akan menjalankan shalat tahajjud, dan memohonkan rahmat atas
Nabi Suci (sholawat), memohon perlindungan daripada dosa (istighfar),
mengucapkan syukur atas nikmat Ilahi (tasyakur), memuji dan memahasucikan Allah
(tahmid dan tasbih).
4. Tak akan menyakiti sesama
manusia, teristimewa kaum Muslimin, baik dengan tangan, lisan ataupun
dengan cara-cara lain.
5. Akan tetap setia kepada
Allah, baik di waktu senang maupun susah, di waktu kecukupan
maupun kesempitan, di waktu sehat maupun sakit; dan akan menghadapi segala
kesukaran dan kehinaan di jalan Allah dengan gembira; di saat-saat derita tak
akan mundur selangkah pun bahkan semakin menguatkan tali pengikat dengan Allah.
6. Akan menjauhkan diri dari
kelakuan buruk atau menurut ajakan nafsu daging; dan akan mentaati sepenuhnya
segala perintah Qur’an Suci; dan akan menjunjungtinggisabda Allah dan Rasul-Nya
sebagai pedoman hidup.
7. Akan
menjauhkan diri dari kesombongan, dan sebaliknya akan hidup dengan andap
asor, rendah hati dan lemah lembut.
8. Akan menjunjung tinggi
kehormatan agama Islam melebihi apa saja, bahkan melebihi jiwa, harta, tahta,
anak dan saudara.
9. Akan
mencintai sesama manusia demi cinta saya kepada Allah; dan dengan
sekuat-kuatnya hendak menggunakan nikmat pemberian Allah kebahagiaan umat
manusia.
10. Akan mentaati perjanjian
ini sampai mati, dan dengan segala keikhlasan akan meneguhkan tali persaudaraan
ini lebih daripada ikatan keluarga dan ikatan-ikatan lainnya.
Baiat dan Janji Sepuluh adalah tarekat Ahmadiyah yang
dirumuskan oleh Imamuz zaman yang sejak tanggal 23 Maret 1889 diimplementasikan
di Ludhiana. Sebanyak empat puluh Muslim menyatakan baiat kepada beliau. Mereka
adalah orang-orang yang bersumpah setia membela dan menyiarkan Islam, ke
seluruh dunia dengan tekad bulat menjual jiwa hanya ingin mendapat perkenan
Allah semata, sebagaimana diterangkan Ilahi dalam firman-Nya: “dan diantara manusia ada yang menjual
jiwanya untuk mendapat perkenan Allah” (2:207). Di sinilah perbedaan tarekat Ahmadiyah dengan
tarekat lainnya. Tarekatnya merupakan landasan untuk membela dan menyiarkan
Islam tanpa mengabaikan penyempurnaan diri pribadinya seperti halnya tarekat
Nabi Suci Muhammad saw. dan para sahabat sebagai manifestasi dari rahmatan lil
‘alamin.
Comments
Post a Comment